Pukul 02.30.
Udara dan suasana perkampingan begitu damai dan tenteram, seluruh santri tertidur pulas di tendanya dengan mimpi yang lebih indah daripada realitanya. Hembusan angin subuh tidak menganggu mereka, karena tebalnya jaket yang mereka kenakan. Selain itu, kaos kaki dan pakaian tertutup membuat mereka tidak tertusuk udara dingin.
"Bangun!!" Teriakan senior bergema memekakkan telinga setiap peserta kamping yang tengah tertidur nyenyak di tenda.
Santri-santri banyak yang mengeluh setelah senior itu mengganggu bunga tidur mereka. Alhasil, kini mereka harus menghadapi kenyataan yang pahit setelah mengarungi indahnya bunga tidur.
Malika mengerang sambil mendudukkan posisi tubuhnya, ia lanjut melirik Fatimah yang masih terpejam dengan wajah yang terlihat polos dan manis. Ia lanjut menggoyang-goyangkan tubuh Fatimah. "Fat, bangun. Serigala sudah mengaung." Malika lantas terkekeh setelah mengucapkan perkataan itu.
Malika memang suka sekali meledek senior-senior killer-nya dengan sebutan 'serigala', alasannya karena kakak kelasnya setiap ada acara sekolah pasti akan membangunkan pesertanya dengan suara kencang di malam hari, layaknya ngaungan serigala.
"Ish, Fatimah kok gak bangun sih? Kayak kebo aja," timpal Aghniya sambil membenarkan posisi kerudungnya.
Gisti merasa ada yang janggal dengan kondisi Fatimah saat ini. Ia ingat kala acara ta'aruf, Fatimah bukan tipe orang yang ketika tidur, sulit dibangunkan. Bukan, dia tidak seperti itu. Gisti pun menghampiri Fatimah dan mengecek temperatur badannya dengan meletakkan punggung tangan pada dahi Fatimah.
"Suhu badannya biasa aja kok," ucap Gisti.
"Bangun Fatimah Alya Az-Zahra." Malika kembali membangunkan Fatimah dengan menggoyangkan badannya.
"Heh! Kalian berempat masih aja di tenda!" Omelan senior sekonyong-konyong mengejutkan mereka.
"Eh, ini lho Teh, Fatimah gak bangun dari tadi," jelas Aghniya.
Senior tersebut langsung menghampiri Fatimah dan mengecek kondisinya. Mulai dari mengecek temperaturnya di dahi, lalu mengecek tangan serta kakinya. Tak lupa, napas Fatimah pun ikut dicek olehnya.
"Tangan sama kakinya dingin," tuturnya.
"Kayaknya dia pingsan deh," celetuk Gisti.
Kakak kelas itu mengangguk. "Iya. Kalian bantu Teteh angkat tubuh Fatimah ke tenda BSM."
...
Mobil milik pasangan serasi, yang kebetulan memiliki nama mirip—Ustaz Farid dan Ustazah Farida—berlalu meninggalkan area hutan pada pukul 07.00. Empu mobil tersebut tidak ikut, karena yang diperbolehkan mengantar hanyalah satu ustaz saja. Dan, Azferlah yang mengendalikan stir mobil.
Walau perasaannya kalut karena keadaan Fatimah yang terlihat semakin memburuk, tapi dia tetap bisa mengendalikan perasaan supaya tidak terlalu khawatir pada Fatimah.
Gadis itu tak kunjung sadar, ia tetap memejamkan matanya dengan kondisi kulit yang semakin memucat.
Azfer jadi khawatir kondisi Fatimah jadi begini adalah karenanya semalam. Ia takut, jika Fatimah jadi stress dengan tegurannya semalam. Atau mungkin, Fatimah jadi ingat traumanya pada kejadian malam ta'aruf?
Rasa bersalah terus menghantui Azfer tanpa henti. Padahal, minggu demi minggu telah berganti menjadi satu bulan, yang artinya sudah cukup lama waktu yang terlewat. Tetapi, tetaplah bagi Azfer semua ini masih terlalu awal untuk bisa dilupakan, ia masih belum bisa memaafkan dirinya sendiri atas keteledorannya pada malam ta'aruf.
"Maafin Aa, Alya. Sekarang Aa akan selalu jaga kamu," ucap Azfer sambil menengok Fatimah lewat kaca spion yang mengarah ke bangku belakang.
Menit demi menit perjalanan, mobil itu pun sampai di sebuah rumah sakit yang berjarak 2 KM dari tempat kamping. Azfer memarkirkan mobilnya terlebih dahulu, kemudian ia turun dan memanggil suster untuk membawa badan Fatimah ke brankar.
"Suster, tolong bantu ana untuk bawa santri ana ke ruang inap," ucap Azfer tatkala sampai di resepsionis.
Suster-suster di sana pun bersedia menjalankan perintah yang dilontarkan, mereka segera membawa brankar menuju parkiran.
...
Fatimah membuka matanya. Penglihatannya terasa sedikit buram, ia pun mengerjap dan menyesuaikan cahaya yang masuk ke retinanya hingga tidak terlihat remang-remang lagi.
Lantunan ayat suci terdengar ke telinganya, spontan saja ia menoleh ke sumber suara dan menemukan pahlawannya di sana. Ukiran senyum tipis kini melekat di bibir pucatnya, karena lantunan ayat suci yang keluar dari lisan pahlawannya benar-benar menenteramkan hatinya. Begitu indah, sampai ia tidak mau mengganggu dia yang sedang asik membaca..
Tak lama dari itu, Azfer menyudahi bacaannya. Ia menyimpan Al-Qur'an di tas ransel, kemudian ia menoleh Fatimah yang sudah sadarkan diri dari pingsannya.
"Alhamdulillah, Alya udah sadar," ujarAzfer yang kini merasa lega.
"Alhamdulillah, A," Fatimah menjeda ucapannya, "Em, maafin Alya ya A, ngerepotin Aa terus," ucap Fatimah sambil berusaha bangkit dari posisi tidurnya.
Azfer berjalan menghampiri sisi ranjang Fatimah. "Siapa yang repot sih Al? Nggak kok, Aa gak ngerasa direpotin." Azfer menggeser kursi hingga duduk tepat di sebelah ranjang.
Fatimah menunduk dan bibirnya berubah kerucut. "Aa gak usah kasihanin Alya karena Alya penyakitan, kalau Aa mau hukum Alya karena kesalahan semalam, hukum aja."
"Siapa yang bilang Aa kasihan sama kamu? Jangan-jangan panitia di depan tenda, ya? Emang harus dikasih tau itu anak-anak." Azfer mulai terbakar emosi, ia bangkit dari duduknya hendak kembali ke acara kamping.
"Jangan Aa!" cegah Fatimah yang dengan refleksnya memegang pergelangan tangan Azfer.
Deg!
Debaran di hati Azfer mendadak terasa semakin kencang. Perasaannya tidak bisa lagi terkendali. Jika diibaratkan air, perasaannya sekarang tengah meluap-luap merasakan desiran rasa yang begitu menyeruak. Tangan lembut itu hinggap di pergelangan tangannya. Perlahan, ia menoleh ke arah Fatimah yang belum sadar jika ia tengah memegang lengan Azfer.
"Jangan kesana," pinta Fatimah dengan siratan mata yang memelas.
Azfer hanya bisa diam membisu dan memandangi netra Fatimah, sepatah kata pun tidak keluar dari mulutnya.
"Jangan pergi, mereka ngucapinnya di belakang Fatimah. Please, jangan buat masalah apa-apa lagi, biarin aja mereka. Mereka transfer pahala, iya, kan?" tutur Fatimah lagi.
Azfer masih diam tidak bersuara, kejadian ini benar-benar telah membuat bibirnya kelu. Ia hanya bisa diam, memandangi gadis yang dicintainya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Degup ✔️
Spiritual[COMPLETED] Takdir mempertemukan seorang gadis bernama Fatimah Alya Az-Zahra dengan Ali Muhammad Ramdhan, ketika ia menginjakkan kakinya di sebuah Pesantren bernama Ar-Rahman. Pria tersebut begitu tampan, dan suara azannya begitu memikat kaum hawa...