Fatimah hanya menatap bingung sosok di hadapannya, ia buntu kata-kata. Semua kata yang dibutuhkan untuknya menjawab mendadak kabur, hilang dari memori otaknya.
"Pikirkan semua itu baik-baik. Aku mau panasin motor," ucap Azfer dingin. Ia pun berdiri dan menggiring langkahnya yang tampak tidak bersemangat itu meninggalkan kamar asrama. Semangat hidupnya terasa hilang, direnggut pesan yang mengguncang relung hatinya.
Fatimah hanya bisa menatap kosong pemandangan di depannya, ia sendiri merasa bingung harus melakukan apa. Azfer yang terluka, sama dengannya yang terluka. Jadi, bagaimana ia bisa memberi semangat jika sudah begini? Ia tidak bisa memberikan kata-kata motivasi apa pun, karena dia juga butuh motivasi dari orang lain.
...
Selesai salat asar di kampus, Fatimah tidak langsung beranjak dari sana. Ia masih mengkhawatirkan masalah demi masalah yang menghampirinya hari ini. Pesan itu telah membawa guncangan dahsyat pada jiwanya, membuat ia ingin memaki-maki Ali. Bahkan, jika bisa, ia ingin melempar Ali jauh sampai ke lautan lepas agar ia tidak perlu melihat wajah itu lagi.
Di sisi lain pula, ada emosi Azfer yang pastinya merasakan penyesalan yang teramat dalam. Tadi saja ia sampai menawarkan perceraian agar bisa membebaskan Fatimah untuk memiliki orang yang menjadi dambaannya selama ini. Selain itu, sikap Azfer juga berubah ketika mengantarnya tadi pagi. Bibirnya itu seakan kelu untuk menghangatkan suasana dalam perjalanan ke kampus. Huft! Azfer benar-benar terlihat kecewa.
"Apakah aku harus egois?" lirihnya.
Ia kembali mengingat hari. Hari di mana ia berdiri sekarang. Acara resepsi tinggal empat hari, banyak orang yang telah menyiapkan acaranya dengan baik. Keluarganya pun menunggu-nunggu momen tersebut dengan perasaan bahagia. Bahkan, kebahagiaan keluarganya selalu terpancar apabila tengah membahas tentang rumah tangga putra-putrinya. Pantaskah ia menyakiti hati banyak orang hanya karena keegoisannya untuk memiliki cinta Ali?
Puk
"Astagfirullah!" pekik Fatimah sambil memegang dadanya. Wajar saja, ada orang yang tiba-tiba menepuk pundaknya tanpa permisi.
"Ngelamun aja, Neng. Ibu panggil dari tadi gak nyahut," ucap dosen Fatimah—Dania.
"Eh Ibu. Maaf, Bu," balas Fatimah malu.
"Kamu sama suami kamu baik-baik aja, kan? Gak ada masalah? Resepsinya pasti berjalan lancar, kan?" tanya Dania bertubi-tubi.
Fatimah jadi ingat, kalau undangan resepsi pernikahannya sudah tersebar ke teman dan beberapa dosen sejak minggu kemarin. Sungguh memalukan dan menyakitkan hati orang banyak kalau ia memilih egois.
"Bu, saya boleh bicara?" Bukannya menjawab, Fatimah malah balik bertanya.
"Boleh, kenapa tidak? Mau bicara di mana?"
Setelah memutuskan tempatnya, Dania dan Fatimah pun berbincang di sebuah kafe dekat kampus.
"Jadi ... itu alumni hati kamu bilang gitu?" tanya Dania terlihat kaget setelah Fatimah menceritakan semuanya secara rinci.
Fatimah lekas mengangguk untuk membenarkan pertanyaan dosen yang juga merupakan kerabatnya.
"Saran Ibu ... kamu jangan termakan emosi, gak baik." Dania memegang pada tangan kanan Fatimah. "Ali masa lalu kamu, istri sahabatmu, dimadu itu tidak enak, jarang orang yang sanggup menjalaninya."
"Aku juga inginnya begitu, Bu. Tapi rasa sesal malah menghantui. Impian aku tentang Ali dan Fatimah masa kini masih belum padam," jelas Fatimah.
Dania menghela napas panjang. "Itu artinya, kamu berpikir, kalau saja Ali tidak mengalah, kalian pasti akan bersama. Gitu, kan?" tanyanya dibalasi anggukan Fatimah.
"Realistis, Fatimah. Gini, kenapa coba takdir malah membawa kamu bersatu dengan suamimu, Azfer, dalam pernikahan?"
Fatimah menatap dalam netra Dania, ia haus penjelasan, ia masih butuh kekuatan sedikit saja.
"Itu karena Allah Maha Mengetahui kalau kamu dan Azfer itu cocok. Azfer itu sosok pria terbaik menurut Allah untuk menjadi pendamping kamu," tambahnya. "Inget, kan? Barangkali kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Dan barangkali kamu tidak menyukai sesuatu padahal itu baik bagimu."
Wejangan-wejangan yang telah diberikan Dania, membuat pikiran Fatimah jadi lebih terbuka. Ia senang, akhirnya konsultasinya dengan seseorang membuahkan hasil yang memuaskan.
"Aku paham, Bu. Terima kasih banyak," balas Fatimah dengan sudut bibir yang tertarik.
"Alhamdulillah kalau begitu, Ibu doakan kalian selalu langgeng sampai ke surga," tutur Dania sambil mengusap bahu Fatimah.
"Amin."
Tringgg tringgg
Getar dan bunyi gawai Fatimah terdengar, membuat si empunya mengambil gawai dari balik saku gamis. Ia melihat layar ponsel, ternyata yang meneleponnya adalah Farida. Dahinya mengernyit karena tidak biasa di telepon istri dari 'Ustaz Killer' itu.
"Bentar ya, Bu," izin Fatimah.
"Silakan, Nak."
Fatimah menggeser panel hijau, kemudian ia taruh benda pipih itu di samping terlinganya.
"Assalamu'alaikum." Suara Farida terdengar cemas, hal itu membuat Fatimah mulai merasa tidak enak hati.
"Wa'alaikumussalam. Ada apa, Bu?" tanya Fatimah.
"Itu ... suami kamu, Azfer ... dia jatuh dari tangga lantai dua."
Deg!
Kedua bola mata Fatimah terbelalak, rasa khawatir mulai berpacu memompa jantung menjadi detakan abnormal. Kemudian, rasa bersalah ikut mengiringi keadaan. Ia khawatir jika Azfer begini karena melamunkan pesan Ali.
"Innalillahi," lirih Fatimah.
"Kenapa, Nak?"
Deru napas Fatimah mulai terdengar risau. "A-a-aa, Bu," ucapnya bergetar karena menahan tangis.
...
Fatimah dan Dania sampai di rumah sakit. Mereka langsung menggiring kaki ke ruang ICU setelah mendapat pemberitahuan dari pihak resepsionis.
Tidak ada yang menyangka jika kejadiannya akan seperti ini. Fatimah terus merasa berdosa dan bersalah pada suaminya yang selalu baik hati padanya selama ini. Harusnya, ia tidak perlu membebani Azfer dengan hal tadi.
"Ustaz Farid, bagaimana keadaan A Az?" tanya Fatimah khawatir.
Farid yang semula duduk, kini berdiri diiringi raut wajah yang tampak gusar. "Kepalanya mengeluarkan darah, dan sekarang dia sedang di transfusi agar bisa mengganti darahnya yang keluar itu."
Tubuh Fatimah rasanya rontok. Tubuhnya kehilangan keseimbangan, sampai-sampai Dania dan Faridah memegangi tubuhnya.
"Istigfar Fatimah, jangan stress," nasihat Farida. "Jangan sampai kalian berdua sama-sama dirawat."
Mereka berdua pun membawa Fatimah duduk di kursi. Farida memberikan minum pada Fatimah agar bisa tenang.
"Azfer akan baik-baik saja," ucap Dania.
Mau berapa banyak pun kata-kata yang diberikan untuk menyemangati Fatimah, tetap saja ia tidak bisa menghalau kekhawatiran yang sedang merebak di relung batinnya. Ia takut kehilangan Azfer, ia takut jika ajal menjemputnya lewat perantara kejadian ini. Atau, kalaupun masih bernapas, ia takut Azfer lupa ingatan.
"Jangan berpikiran aneh-aneh, istigfar," saran Farida yang tahu betul jika kondisi seseorang sedang begini, pasti pikirannya melantur ke mana-mana.
"Astagfirullah," lirih Fatimah.
"Doakan saja, Azfer bisa selamat. Zikir kalau perlu," tambah Dania.
Fatimah membalasinya dengan anggukan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Degup ✔️
Espiritual[COMPLETED] Takdir mempertemukan seorang gadis bernama Fatimah Alya Az-Zahra dengan Ali Muhammad Ramdhan, ketika ia menginjakkan kakinya di sebuah Pesantren bernama Ar-Rahman. Pria tersebut begitu tampan, dan suara azannya begitu memikat kaum hawa...