12. ALENTARGA '11

31 3 0
                                    

Layaknya sebuah angin, datang begitu kencang, pergi meninggalkan beribu kehancuran.

*****

Pintu teater 1 telah dibuka, Alenta dan Arga masuk ke dalam. Mereka duduk di kursi 13&14 D. Selang beberapa detik mereka menempati kursi, film pun dimulai.

Suasana gelap dan sunyi langsung menyambut para penonton. Mereka semua tampak khidmat menonton sajian tersebut. Seakan akan tak ingin kehilangan satu detik adegan yang ditayangkan.

Arga dan Alenta duduk dengan tenang. Arga yang terlihat fokus dengan filmnya sedangkan Alenta sibuk menyomot popcorn yang dibeli Arga tadi.

Di awal film, adegan demi adegan masih bisa dicerna oleh akal sehat Alenta. Beberapa adegan yang romantis juga muncul di awal film. Terlebih sang aktor adalah laki laki tampan yang membuat sebagian besar kaum hawa menjerit histeris.

Namun, beberapa saat kemudian suara adu jotos mulai terdengar di telinga Alenta. Beberapa adegan pembunuhan pun mulai bermunculan. Arga yang terlihat fokus, tampak menikmati adegan demi adegan. Sedangkan Alenta, menutupi wajahnya untuk beberapa kali. Ia merasa ngeri dengan adegan pembunuhan yang menimbulkan banyak pertumpahan darah disana.

Alenta meringis beberapa kali, ketika layar lebar tersebut menampilkan adegan seseorang yang sedang menusuk perut lawan mainnya dengan pisau tajam. Ia merutuki dirinya sendiri, menyesal karna memilih genre film seperti ini.

Alenta menoleh sekali lagi ke arah Arga. Laki laki itu tetap sama. Masih fokus dan tenang, padahal layar lebar tersebut menyuguhkan adegan adegan yang mengerikan.

Alenta pun mencoba untuk kembali menonton, sampai akhirnya ia melihat Arga yang tengah sibuk mengecek ponselnya. Arga yang tadinya terlihat tenang, kini berubah menjadi gelisah.

"Kenapa, Ga?" tanya Alenta.

"Len, kamu bisa nonton sendiri kan? Saya harus pergi. Maaf Len, maaf banget. Lain kali saya nggak akan seperti ini." ujar Arga yang langsung meninggalkan Alenta begitu saja tanpa memberikannya kesempatan untuk berbicara.

Alenta terperangah. Ia tak percaya jika Arga meninggalkannya begitu saja. Sempat ia berpikir, apa yang terjadi pada Arga sehingga Arga meninggalkannya begitu saja.

Walaupun begitu, Alenta berada di posisinya. Menatap lurus ke depan memperhatikan alur cerita yang berjalan. Wajahnya sedih. Tatapannya memang tertuju pada film itu, namun pemikirannya berbeda arah.

*****

Arga melajukan motornya dengan sangat kencang. Setelah ia mendapat kabar bahwa omanya sedang kritis di rumah sakit, membuat Arga seperti kesetanan.

Ia tidak memedulikan orang orang yang ada di sekitarnya. Bahkan, ia memaki apapun yang dianggap menghalanginya. Tak peduli dengan makian balik yang sama nyaringnya.

Saat ini, Arga benar benar ketakutan. Tangannya mencengkeram setir motornya kuat kuat. Tubuhnya bergetar. Matanya memerah berusaha menahan air mata.

Jangan per..gi, jang..an per..gi

Itulah kalimat yang ia katakan selama di perjalanan. Seakan akan kalimat tersebut dapat menghalau apa yang dikhawatirkannya.

Kini ia telah sampai di rumah sakit, tempat omanya dirawat.

Arga memarkirkan motornya acuh. Dengan segera, ia berlari mencari kamar dimana omanya dirawat.

"Dimana oma?" Tanyanya dengan sedikit kencang, ketika berpapasan dengan suster pribadi Omanya.

"Mari ikut saya." ajak suster tersebut.

Arga pun mengikuti wanita itu dari belakang. Sampai pada akhirnya wanita itu menunjuk pintu kamar yang bernomor 205 didepannya.

Sebelum masuk ke ruangan tersebut, Arga menarik nafasnya kuat kuat dan menghembuskannya. Berharap ia bisa jadi lebih tenang.

Arga masuk ke dalam ruangan. Matanya tertuju kearah dimana omanya berbaring lemah diatas ranjang dengan berbagai macam selang yang terpasang di tubuhnya.

Ia juga mendapati dokter yang tengah memeriksa omanya. "Dok, bagaimana dengan kondisi oma saya?" tanya Arga dengan suaranya yang serak. Jika bisa, ingin sekali ia menggantikan posisi omanya.

"Beberapa jam yang lalu, kondisi Bu Rahayu kritis. Strokenya kambuh. Tapi sekarang sudah tidak apa apa." pernyataan dokter tersebut membuat Evan menghembuskan nafas lega. Ia memegang erat tangan Omanya.

"Tapi saran saya, kamu harus sering sering menengok ibu Rahayu. Jaga kesehatannya, ingat bu Rahayu juga punya riwayat jantung. Saya khawatir jika kesehatan Bu Rahayu akan semakin parah." tambah dokter tersebut.

"Baik, dok. Terimakasih, saya akan menjaga oma saya lebih baik lagi." ujar Arga.

"Kamu yang sabar, doakan saja yang terbaik untuk Bu Rahayu." ucap dokter tersebut. Arga pun hanya mengangguk lemas.

Setelah itu, dokter itu pun pamit pergi. Kini hanya Arga dan omanya yang ada di dalam ruangan itu sambil terduduk lemas dengan setetes air mata yang meluruh begitu saja.

"Nggak akan oma. Arga nggak akan biarin oma pergi gitu aja. Cuman oma yang Arga punya." ucapnya parau.

*****

Alenta pulang ke rumah dengan kesal. Selama di perjalanan ia tak berhenti untuk menggerutu. Bahkan, sopir ojol yang mengantar Alenta pulang, tampak beberapa kali melirik ke arah Alenta. Ia tak peduli jika sopir ojol tersebut mengatakannya gila atau apalah karna saag ini Alenta benar benar kesal.

Sesampainya di rumah, ia pun memberikan helm yang ia pakai kepada sang sopir ojol dan memberikan bayaran atas jasanya.

Alenta melangkah masuk ke dalam rumah dengan kesal. Ia pun memasuki ruang keluarga dan mendapati kedua kakaknya dan adiknya yang sedang bermain playstation. Lebih tepatnya Elang dan Ryo lah yang bermain. Faris hanya menonton mereka dari belakang.

"Assalamualaikum." salam Alenta.

"Waalaikumsalam." jawab ketiga laki laki itu.

"Kamu darimana dek? Kakak kira kamu di kamar." ujar Faris.

"Pergi sama temen." jawab Alenta seadanya.

"Temen yang mana?" tanya Faris.

"Kak Alenta habis pergi sama cowok." ucap Ryo polos. Sadar akan dirinya yang keceplosan dengan reflek Ryo pun langsung menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

Alenta pun hanya bisa merutuki adiknya dalam hati.

"Pergi sama temennya tadi, siapa itu yang suka nyerocos tuh." sahut Elang sambil memberikan kode kepada Alenta melalui matanya.

Alenta pun memahami kode kakaknya itu, "Oh ya, iya kak, sama Tania." Faris tidak tahu siapa itu Tania, tapi ia hanya mengangguk paham dan meminta Ryo untuk bergantian bermain PS.

Alenta sangat bersyukur karena tumben tumbenan kakaknya, Elang, mau membantunya. Ia tersenyum sumringah dan memberikan kedua jempolnya kepada kakaknya. Namun, hal itu tidak disambut baik oleh Elang. Ia malah menatap Alenta intens seakan akan ingin mengatakan, "Habis ini lo harus jadi babu gue selama sebulan."

Alenta hanya memutar bola matanya, dan meninggalkan mereka menuju lantai 2. Kamar Alenta.

Sesampainya di kamar, ia langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur. Ia menatap langit langit kamarnya yang berwarna putih bersih. Ia berpikir, andaikan saja ia masih kecil, yang tidak perlu merasakan yang namanya jatuh cinta. Perasaan yang terkadang membuatnya bahagia sekali dan terkadang membuatnya sakit sekali.

Sudah kesekian kalinya Alenta mendesah kesal. Tidak ada satupun notifikasi dari Arga yang muncul. Ia bingung, sebenernya Arga ini orang yang seperti apa. Terkadang berlaku manis. Terkadang juga berlaku sangat dingin kepadanya.

Apa benar kita saling mencintai? atau justru hanya aku yang mencintai.

*****

To Be Continue

ALENTARGA [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang