🌟 21. [Fever]

666 63 7
                                    

Pagi hari.
Mungkin bagi sebagian orang, adalah saat dimana mereka menggeliat enggan untuk beranjak dari ranjang. Beberapa memilih kembali menarik selimut, beberapa lagi memutuskan untuk bangun dan memulai aktivitas.

Nara adalah salah satunya. Pagi ini, setelah selesai mengemasi barang-barangnya di rumah Mi Ran ia memutuskan untuk pergi ke dorm untuk mengurus beberapa jadwal Bangtan yang beberapa masih belum terselesaikan.

Nara merapatkan lagi mantelnya karena angin yang tak henti berhembus pagi ini. Satu tangannya menenteng kotak makan berisi masakannya tadi pagi. Ia sengaja membawanya untuk sarapan para member Bangtan dan juga, karena ia memasak terlalu banyak dan membuat Mi Ran mengomel.

"Ya! Aku belum ingin menikah! Kau pikir siapa yang akan memakan makanan prasmanan sebanyak ini? Nara~ya, sadarlah! Sejak kau kembali, aku merasa ada yang aneh darimu. Tiba-tiba mengemasi barang dan sekarang memasak sebanyak ini. Ceritakan padaku! Ada apa?"

Nara hanya tersenyum mendengar omelan Mi Ran dan kemudian menjawab "Gwenchanha." Mau bagaimana pun, ini semua memang akan menjadi aneh bagi beberapa orang.

Sikap Nara jelas tampak menjadi berbeda sejak kembali dari desa dan semua itu terlalu rumit untuk dijelaskan. Nara selalu membiarkan Mi Ran berasumsi sendiri daripada dirinya menjelaskan yang sebenarnya dan hanya akan memperumit segalanya. Bagi Nara, masalah hanya ada padanya dan tidak perlu terlalu mengumbar kepada orang lain. Meskipun Mi Ran adalah teman dekat yang sudah Nara anggap seperti saudara sendiri, tetap saja Nara enggan menceritakan apapun kepada Mi Ran yang mungkin berpotensi membuat Mi Ran semakin heboh dengan berbagai ocehannya.

Nara membelokkan langkahnya ke jalan setapak yang mengarah ke dorm Bangtan. Dari tempatnya berdiri saat ini, ia bisa melihat sosok Seokjin keluar dari dorm sambil membawa kantung hitam besar yang Nara tahu adalah kantung sampah.

Jantung Nara berdebar tiba-tiba. Langkahnya terhenti beberapa saat, seolah membiarkan dirinya berpikir atau sekedar menenangkan diri atas apa yang sudah terjadi.

Jujur, kejadian semalam terlalu sulit bagi Nara. Sulit untuk dipercaya, sulit untuk diterima, bahkan sulit untuk dilupakan. Semuanya terjadi begitu saja.

"Tolong jangan pergi."

"Aku menyukaimu"

Selanjutnya, Nara tak sanggup lagi untuk menahan keadaan. Ketika kedua tangan Seokjin menangkup wajahnya dan wajah mereka yang semakin kehilangan jarak. Nara menunduk, seiring dengan matanya memejam.

Sepersekian detik kemudian, dirinya merasa situasi ini tidaklah benar. Seokjin sudah seperti kakak baginya. Sosok kakak yang selalu melindungi dan membantu saat dirinya butuh. Dia tidak ingin semuanya berubah hanya karena satu keadaan yang tak terkendali semacam ini.

Nara memalingkan wajahnya ke samping, membuat gerakan wajah Seokjin terhenti.

Nara menggigit bibirnya untuk meredakan kegugupan dan menyadarkan diri atas apa yang baru saja ia lakukan.

Beberapa waktu Nara tahu Seokjin masih menatapnya lekat, sementara ia masih terlalu sungkan untuk mendongakkan kepala, membalas tatapan pria di hadapannya. Tak lama, Seokjin melepas tangkupan tangannya di wajah Nara, bersamaan dengan tubuhnya yang mundur satu langkah. Barulah, Nara berani untuk kembali menatap ke depan, ke arah Seokjin tepatnya.

Pria itu tersenyum. Senyuman yang tidak Nara sangka.

"O--opp--oppa, a--aku...."

Belum juga Nara menyelesaikan ucapannya, Seokjin menyambar,

"Aku mengerti sekarang."

Nara mengerutkan kening. Apa yang dimengerti dari situasi saat ini? Baru saja Nara akan bertanya, Seokjin sudah kembali bicara,

Can I Touch Your Heart?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang