Sesuai dengan rencananya, Nara akan pulang ke desa besok lusa. Kali ini, dia lebih memilih menaiki kereta dan sudah memesan tiket secara online, karena tiket kereta lebih mudah dipesan dan harganya pun lebih terjangkau daripada pesawat. Kini, Nara tengah sibuk mengemasi barang-barangnya yang masih bertebaran di dalam rumah kost Mi Ran. Satu per satu, Nara melipat rapi dan memasukkan pakaiannya ke dalam tas besar miliknya.
Sementara sang pemilik kamar yang tak lain adalah teman baiknya, Mi Ran, hanya duduk di kursi sedari tadi, sambil berlagak membaca koran pagi.
Nara yakin Mi Ran tidak benar-benar membaca berita yang ada di koran itu. Temannya itu hanya sedang kesal padanya karena keputusannya untuk pulang ke desa. Saat Nara sudah tidak tinggal bersamanya, itu berarti tidak ada lagi yang akan memasakkannya sarapan dan makan malam. Juga, tidak akan ada lagi teman yang akan diajak bertukar pikiran atau bercerita tentang keluh kesah terhadap pekerjaannya setiap hari.
“Ya! Apa yang kau lakukan? Lebih baik kau membantuku menata semua ini!” Ucap Nara, sembari tetap memindahkan pakaian dari lemari ke dalam tasnya.
“Aku tidak peduli. Aku tidak bisa mendengarmu.” Mi Ran menjawab dengan nada datar tanpa mengalihkan tatapannya dari koran yang terbentang di tangannya.
Nara menghembuskan nafas, merasakan temannya itu mulai bertingkah seperti anak kecil.
“Kau bisa menjawab, itu berarti kau mendengarku.” Nara melirik ke arah Mi Ran.
“Sudahlah, aku sedang tidak ingin bicara denganmu.” Jawab Mi Ran sembari membalik halaman koran.
Nara tak lagi bisa berkata-kata dan memilih meneruskan kegiatannya menata barang-barang. Mi Ran memang beda. Kalau sudah kesal, bayi pun bisa kalah dengan sikap merajuknya.
Tak ada pembicaraan lagi setelah itu. Baik Nara maupun Mi Ran, sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Nara tampak fokus merapikan barang-barangnya, sementara Mi Ran masih berlagak seolah benar-benar membaca koran di tangannya. Sesekali, suara kertas yang saling bergesekan karena Mi Ran membalik halaman, terdengar mengisi kekosongan ruangan.
Beberapa saat masih seperti itu. Hingga kemudian seruan Mi Ran membuat Nara menoleh heran sekaligus terkejut.
“Ya, ya, ya! Nara~ya!”
“Wae? Kau bilang tidak ingin bicara denganku.” Ucap Nara, tak habis pikir dengan kelakuan temannya itu.
Namun, ekspresi yang ditunjukkan Mi Ran memperlihatkan bahwa dia sedang tidak bercanda. Matanya membelalak seolah menangkap sesuatu yang mengejutkan di lembar koran yang ia baca.
“Ini? Apa maksudnya? Kau? Jadi, kau...benarkah?” Mi Ran tampak kebingungan.
Sementara Nara masih menganggap kalau Mi Ran hanya meracau tidak jelas dan mencoba tidak peduli.
“Ada apa? Apa wajahku ada di sana? Apa aku menjadi terkenal?” Nara berucap asal, sembari tetap melipat pakaiannya.
“Oh! Ini memang kau! Ya! Kau harus melihat ini!” Mi Ran beranjak dari duduknya dan sedikit berlari ke arah Nara yang duduk di lantai dengan tumpukan pakaian di sekelilingnya.
Nara menghentikan kegiatannya saat Mi Ran duduk di hadapannya sambil membuka koran lebar-lebar tepat di depan wajahnya.
Awalnya, Nara merasa enggan melihat apa yang sedang Mi Ran tunjukkan. Namun, sebuah foto yang cukup lebar tercetak jelas di halaman koran yang Mi Ran tunjukkan padanya, membuatnya mau tak mau mengarahkan pandangan ke sana.
Ia merasa mengenali sosok dua orang yang ada di foto itu. Seorang gadis dan seorang pria yang berada di dalam mobil. Foto itu diambil dari sisi samping dan sepertinya diambil dari jauh karena kualitas gambarnya tidak terlalu bagus. Persis seperti jepretan paparazi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can I Touch Your Heart?
FanfictionJungkook adalah orang yang paling kehilangan saat manager Han memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai manager Bangtan. Ketika Seokjin berhasil menemukan manager baru yang tak lain adalah temannya di desa bernama Jung Nara, semua...