Assalamualaikum. Apa kabar? Ini adalah bagian yang sempat dipublikasikan kemarin, tapi saya rombak kembali. Sebenarnya, tidak ada perubahan yang berarti. Hanya ditambah dengan adegan dan mengganti bahasa yang kekinian jadi sedikit baku.
Tell me, saya harus pakai bahasa baku atau non baku? Alasannya apa?
CU.
(Bagi kemarin yang sudah membaca, silakan dilanjutkan saja, gak usah baca dari awal. Ini saya cuma ganti jadi kata baku 😂
Happy reading....
Rauf berjalan tergesa saat sebuah mobil terparkir di halaman rumah Ardan. Sejurus kemudian Ardan turun, melangkah menghampiri Rauf yang menyambutnya dengan tatapan tidak biasa.
"Lama banget sih, Dan." Wajah Rauf cemberut, beberapa kali dia menatap putus asa ke arah jam tangannya yang bewarna abu-abu tua itu.
Ardan menyengir, kemudian mengibaskan tangan kanan di depan muka, sedang di tangan kirinya membawa sebuah kantong plastik. "Ya sori, Bro. Tadi jalanan macet."
Dengan uring-uringan, Rauf segera masuk ke mobil Ardan. Hari ini dia ada janji dengan Humaira untuk bertemu, dan dia meminjam mobil Ardan. Semalam pun Rauf ke rumah Ardan mengendarai ojol, bukan mobil milik Pak Nur.
Ardan bersikap seolah bodo amat, melangkah menuju rumah dan meninggalkan Rauf yang hendak bertemu dengan Humaira. Ya ... walaupun dia tahu jika meminjamkan mobil adalah dosa, tapi mau bagaimana lagi? Rauf itu pribadi yang keras kepala. Lagi pun, dia belum berani menegur Rauf. Hanya doa yang dia utarakan, semoga sahabatnya itu diberikan pencerahan. Baik akal, maupun perasaan.
Baru setengah jalan menuju pintu depan, tiba-tiba telinganya mendengar suara bariton Rauf yang berteriak-teriak, seperti memakinya dari kejauhan.
"DAAAN!!!" Suara itu benar-benar mengusik Ardan. Dengan agak malas dia berbalik dan menatap datar Rauf yang saat itu ekspresinya lebih datar dari Ardan.
"Kenapa? Teriak-teriak kayak perempuan aja. Jadi cowok yang gentle dong," katanya sembari memamerkan otot-otot lembeknya. Memang, dia memiliki level kepedean tingkat dewa, sehingga Rauf hanya bisa geleng-geleng kepala.
Dari kaca mobil, dia dapat melihat Rauf menekuk muka dengan membawa sekantong lagi plastik. Tangan kirinya digunakan untuk menutupi hidungnya. "NIH BAWANG MERAHNYA, KETINGGALAN SEKANTONG PLASTIK."
Ardan kembali menyengir, kemudian datang mengambil kantong plastik itu. "Mana bau mobilmu hanya bawang," katanya, "lagi pula, mengapa membeli bawang merah di warung sebelah harus bawa mobil?" Rauf menyubit hidungnya dengan tangan kiri, kemudian setelah kantong plastik itu sudah diterima Ardan, dia segera menancapkan gas.
Gadisnya telah menunggu.
Humaira.
***
Setelah seperempat jam perjalanan, akhirnya dia sampai juga di lokasi tempat dia akan berkencan hari ini. Kencan? Entahlah, Rauf bahkan tidak bisa menerka apakah pertemuan ini akan berakhir bahagia atau justru seperti pertemuan terakhir mereka berdua, Humaira menolak mentah-mentah lamarannya. Mengingat itu hatinya diliputi was-was. Takut-takut jika kejadian kemarin terulang lagi, saat Humaira mematahkan hatinya. Entah keberapa kali.
Pemandangan sekitar cukup menghibur hati Rauf yang saat ini masih was-was. Netranya menatap ke sembarang arah untuk mencari seseorang. Sembari kakinya berjalan menyusuri jalan paving yang sudah disediakan, sekelilingnya hanya ada pelancong yang berlibur di sana. Sesekali dia menghentikan jalannya saat berpapasan dengan bocah-bocah yang asyik bermain sepak bola.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Bidadari Bumi [END]
SpiritualAn amazing cover by. @Es_Pucil Menikah tanpa dasar cinta, apakah bisa? Takdir seakan tengah menguji Syifa saat seorang pria paruh baya melamarkan anaknya, Rauf. Pernikahan yang dia dambakan seperti romantisme kisah Humaira bersama Rasulullah adalah...