"S---saya terima nikah dan kawinnya Aisha Syifa Mufidah binti Hadi dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
Hening sejenak sebelum semua hadirin berteriak sah dengan sukacita. Hampir saja, peristiwa sakral itu tidak jadi diselenggarakan karena Rauf telah menghabiskan kesempatan tiga kali untuk mengucap qabul.
Senyum telah terbit di wajah Pak Nur. Dia menyeka peluh di dahi dengan sumringah, pasalnya beberapa menit terakhir sangat menegangkan baginya.
Bergegas, dengan tangan bergetar dan nadanya yang melirih dia melantunkan surah an-Nisaa hanya beberapa ayat, sehingga menyingkat waktu.
Nadanya indah, mendayu-dayu, dan mampu mendesirkan setiap orang yang mendengarkan. Hanya orang yang benar-benar memperhatikanlah yang mampu menangkap nada itu yang sebenarnya penuh dengan kesedihan, rintihan hati, kekecewaan, dan penyesalan. Semua itu bercampur jadi satu, membuat orang yang mendengar akan merasa terenyuh dan ikut terbawa suasana.
Tak lama kemudian, Syifa berjalan menuju pelaminan diiringi tepuk tangan hadirin. Alunan hadrah tala'al badru menemani langkah demi langkahnya.
Bolehkah dia membatalkan ini saja? Berjalan di antara para hadirin dengan menghampiri seorang pemuda yang menit tadi mulai menjadi suaminya dengan tersenyum kecut.
Ah, tidak. Bukan senyum kecut yang dia tampakkan, melainkan seyum paksa yang menimbulkan senyum getir. Untung, orang-orang itu tidak terlalu memperhatikan Syifa.
Langkah demi langkah berat dirasa, apalagi orang yang dihampiri tengah memasang senyum kecut, menatapnya dengana aura kebencian dan penyesalan.
Pak Nur yang tak lain sekarang sudah menjadi mertua Syifa pun tersenyum, menghampiri Rauf kemudian menepuk-nepuk bahunya. Rauf hanya membalasnya dengan senyum terpaksa yang bercampur kecewa.
Syifa duduk di samping Rauf, kemudian dia dituntun untuk mencium punggung tangan Rauf layaknya seorang gadis yang berbahagia karena telah resmi dipersunting sang pujaan hati. Namun, hadirin dibuat kaget saat Rauf memundurkan tangannya. Dia seperti menolak, benar-benar menolak Syifa untuk mencium tangannya. Hadirin ada yang menatap bingung, ada pula yang menatap iba. Pasalnya, sejak tadi acara ini dimulai wajah Rauf berubah menjadi pucat pasi, tangannya bergetar kecil tak beraturan, dan acapkali melamun, tidak konsen dengan acara ini. Seperti raganya di sini tapi jiwanya pergi. Pergi meninggalkan sesosok raga yang penuh dengan kepengecutan.
Setelah pundaknya ditepuk Pak Nur, barulah dia tersadar. Pemuda itu tersentak beberapa detik, mendapati semua orang menatapnya heran. Terlebih saat sebuah tangan yang dianggurkannya.
Tadi seperti bukan dia.
Entahlah, dia sedang hancur. Hancur sehancur-hancurnya.
Ya Allah ... sedangkan gadis di sampingnya tersenyum simpul, menangis dan meronta dalam hati. Dadanya sesak, benar-benar sesak. Siapkah dia mempertahankan bahtera rumah tangganya nanti? Walaupun dalam hati dia berbisik, bukankah tidak bisa dia melayarkan bahtera rumah tangga dengan perahu yang permukaannya hanya separuh? Penuh dengan kecacatan dan lubang di mana-mana?
***
Sampai di kamar, Syifa menangis. Hatinya pedih, benar-benar pedih. Tepat setelah itu, menyembullah Rauf dari balik pintu. Wajahnya murung, bahkan tak menatap sedikit pun Syifa.
Sesegera mungkin, Syifa menyeka air mata. Dia melihat Rauf yang duduk di tepi ranjang jauh darinya. Dia menyeka keringat, kemudian menghela napas. Baru selepas Magrib mereka benar-benar lepas dari tamu.
"Mas ... mau mandi? Biar Syifa rebuskan air," katanya. Suaranya lirih, terkalahkan oleh keramaian di luar. Beberapa detik ditunggu, Rauf akhirnya bersuara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Bidadari Bumi [END]
EspiritualAn amazing cover by. @Es_Pucil Menikah tanpa dasar cinta, apakah bisa? Takdir seakan tengah menguji Syifa saat seorang pria paruh baya melamarkan anaknya, Rauf. Pernikahan yang dia dambakan seperti romantisme kisah Humaira bersama Rasulullah adalah...