"Hari ini ada waktu, Mas?" tanya Syifa sambil duduk di depan Rauf. Dia memerhatikan suaminya yang sedang memakan sesuap demi sesuap nasi goreng yang baru saja dibuatnya.
Rauf tampak berpikir sejenak, menatap jam yang melingkar di pergelangan tangan, dahinya sedikit mengerut. "Ada, mungkin nanti sekitar habis Zuhur, kenapa memangnya?"
"Aku ingin jalan-jalan saja." Wanita itu mengangkat kedua bahu, lalu berjalan mengambilkan segelas air putih dari dapur. Meletakkannya di meja, tepat di samping piring Rauf berada.
Sudah dua hari sejak kepulangan Ana. Banyak perubahan yang sangat berarti bagi Syifa. Menurutnya, Rauf telah banyak berubah. Menjadi lebih perhatian, bahkan lebih manja dengannya. Jujur, dia sangat menyukainya.
Ana menelepon semalam jika ibu dan bapak baik-baik saja, katanya mereka rindu kepada Syifa.
"Ana akan menikah, Mbak. Ana juga sudah bilang sama Ibu bapak."
Kala mendengar suara adiknya yang bergetar lewat telepon, dia sedikit khawatir. Entah benar atau tidak sepertinya adiknya memaksakan diri untuk menikah. Dia takut jika kisah cinta Ana akan sama seperti yang dialami oleh Syifa, walaupun nantinya berakhir bahagia.
"Boleh, mau jalan-jalan ke mana memangnya?"
"Beli seblak."
"Apa sih enaknya seblak? Cuma kerupuk di---"
Bledar!
Wanita itu bersungut-sungut, menatap Rauf sedikit jengkel. "Memangnya kenapa, heh? Seblak itu enak."
"Tapi seblak itu tidak sehat, Say---"
"Lagi pula aku hanya makan sesekali." Syifa melipat kedua tangan di dada, menatap sebal ke arah Rauf. Dia tidak terima jika makanan yang dia agung-agungkan dipandang rendah oleh lelaki di depannya. Rauf saja yang tidak tahu bagaimana rasa enaknya seblak yang dimakan oleh kaum hawa.
Dia bahkan berpikir, lidahnya kaum Adam apa tidak merasakan enak jika memakan seblak?
"Iya deh, iya. Nanti aku ikutan makan."
Waktu telah menunjukkan pukul delapan, Rauf segera berpamitan untuk ke kantor bersama Pak Nur. Kemarin adalah hari yang bersejarah baginya, karena Pak Nur tidak memberinya hukuman ketika telat. Sampai di kantor, para pegawai tersenyum-senyum dan menatapnya aneh. Kadang ada juga yang menyapa, beberapa ada yang mengucapkan selamat.
Hal yang membuatnya tambah bingung, sampai di ruang pertemuan semua peserta rapat juga tersenyum. Pak Nur menggeleng, mendekati Rauf lalu menepuk pundaknya.
Hei, ada apa ini?
"Wah, sebentar lagi mau honeymoon, ya, Pak?" tanya salah seorang di antara mereka. Lalu, tertawa bersama.
Kabar Rauf menikah cepat sekali tersebar. Setelah lelaki itu lebih sering mengunjungi kantor, lambat laun para gadis di sana mulai mengidolakannya. Sekadar berbisik-bisik bahwa mereka menyayangkan Rauf sudah beristri.
"Pak Rauf itu ganteng, sayangnya sudah punya istri. Kalau belum, ya jelas sudah kugebet." Dan deretan kehaluan gadis jomlo lainnya.
"Pa?" tanya Rauf saat melihat Pak Nur mengendarai mobil sendiri.
"Kamu di rumah dulu saja, ajak istrimu jalan-jalan. Kasihan dia selama menikah denganmu belum pernah sekalipun kamu ajak jalan-jalan," kata Pak Nur lewat jendela mobil. Jemari keriputnya melambai, meninggalkan Rauf di garasi. Dia menghela napas.
Oke, sepagi ini mungkin wanitanya akan meminta seblak.
Dengan langkah gontai dia masuk ke rumah. Duduk di ruang makan dengan tangan kanannya menopang dagu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Bidadari Bumi [END]
SpiritualAn amazing cover by. @Es_Pucil Menikah tanpa dasar cinta, apakah bisa? Takdir seakan tengah menguji Syifa saat seorang pria paruh baya melamarkan anaknya, Rauf. Pernikahan yang dia dambakan seperti romantisme kisah Humaira bersama Rasulullah adalah...