Dua Puluh Tujuh

8.5K 573 21
                                    

"Apa kamu tidak papa, Dik?" Ana menggeleng, dia tidak apa-apa sekarang. Ada hal yang lebih dicemaskan dari pada dirinya sendiri, dia takut perasaannya akan melukai kakaknya sendiri.

"Bukankah pernikahan itu terlalu cepat untukmu, Na?" Ibu menimpali. Jilbab instan bewarna hijau tua milik ibu sedikit melenceng, hari ini sibuk sekali. Banyak yang harus dipersiapkan untuk acara lamaran. Ibu cepat-cepat membenarkan, membuat sebuah adonan kue. Dibentuk bundar-bundar dengan topping krim cokelat. Sebenarnya jika dibanding dengan koki roti lain, mereka tidak ada apa-apanya dibanding ibu. Namun karena tidak punya uang, hanya sesekali saja wanita tua itu mengolah adonan kue. Syifa jadi teringat jika ibu membuat kue pasti ada hal yang superpenting.

Gadis yang bahkan belum jadi sarjana itu menghela napas berat. Dia tahu ini jalan yang terbaik, dia sudah lelah menahan rasa yang dia rajut setahun belakangan ini bersama Rauf. Lewat pertemuan kecil di sebuah supermarkret. Dia menatap Rauf yang terlibat percakapan dengan beberapa laki-laki di ruang tamu. Dia tersenyum, membalas senyuman, mengikuti ritme lelucon yang kadang dilemparkan salah seorang dari mereka.

Apakah nanti dia akan menyesal?

Namun sekali lagi, yang perlu dicemaskan adalah kakaknya. Syifa telah berulang kali mengorbankan diri untuk dia. Uang dari mana dia bisa kuliah sampai hari ini? Bukankah serakah jika nanti dia juga merebut Rauf darinya?

Anak mata gadis itu menatap senyum tulus Syifa, giginya terlihat saat mendekati ibu untuk membuat adonan. Lantas, menatap Rauf yang masih tertawa. Mengikuti arus pembicaraan para kaum pria.

Kedua kali, dia menghela napas. Urusan hati memang sering kali susah diprediksi. Kadang sangat menyenangkan, mendadak pula kadang sangat menyebalkan. Sebenarnya tidak ingin menyalahkan perasaannya, tetapi ingin menyalahkan diri sendiri yang mudah saja jatuh ke perangkap lingkaran yang bernama cinta. Jika saja dulu dia lebih kuat menjaga pandangannya, bukankah masalah pelik ini tidak akan terjadi? Dia tidak akan mengenal Rauf, mencintainya, hingga melihat kakaknya harus terus-terusan mengorbankan segala yang dia punya---termasuk perasaannya.

Jika dalam novel-novel roman, dia memang orang yang jahat. Muncul menjadi orang ketiga di saat dua pasutri baru memadu kasih. Sungguh, dia merasa beban di pundaknya sangatlah besar. Kesalahannya kepada Syifa sangat besar. Semua orang berhak menghakiminya sebagai pelakor atau apalah itu, sebuah panggilan bernilai negatif.

Dia ketiga kali menghela napas tanpa sadar. Lamunannya terpecah saat merasakan sebuah tangan menowel pipinya. "Mengapa kamu selalu menghela napas? Aku memperhatikanmu sejak tadi. Ada yang kamu pikirkan? Oh... terkait calonmu itu?" Ana menggeleng.

"Bukan, Mbak. Aku cuma lelah akhir-akhir ini. Menjadi mahasiswa tingkat akhir yang sebentar lagi harus mengurus skripsi. Apalagi sebentar lagi aku resmi menjadi istri orang."

Syifa tertawa renyah, dia tahu sebenarnya apa yang dipikirkan adiknya. Diam-diam tak sengaja dia memergoki Ana mencuri-curi pandang ruang tamu.

Dia tahu, Ana memang belum bisa melupakan suaminya.

***

M

atahari meninggi, Rauf berpamitan hendak pulang, mengajak Syifa. Pagi tadi saat mereka hendak pergi ke tempat seblak, Ana menelepon Syifa, berkata jika acara lamaran akan dimajukan, lusa. Ibu meminta Syifa dan Rauf ke sana, untuk ngerembug tentang hal itu. Terpaksa mereka harus menunda memakan seblak.
____________________________________
*ngerembug = berdiskusi
____________________________________

"Mas, apa menurutmu seblak hari ini buka?"

"Mungkin."

Mobil yang mereka tumpangi berjalan secara konstan. Rauf tidak selera untuk ngebut, begitupun dengan Syifa yang tahu bahwa melajukan mobil dengan kecepatan maksimal riskan tinggi terhadap kecelakaan. Toh, seperti pepatah Jawa: alon-alon sing penting kelakon.

Sang Bidadari Bumi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang