Sepuluh

10K 780 27
                                    

"Apa?"

"Kamu mau tidur di mana? Di sini, kan? Biarkan aku yang tidur di kamar sebelah."

"Mas ...." Mata Syifa berkaca sembari menatap Rauf yang berdiri di ambang pintu. Pemuda itu diam, menatap bola mata istrinya yang tersurat perasaan kecewa mendalam.

"Sehari tidak bisakah kita berbagi ranjang? Aku ingin sekali merasakannya. Aku ... ah, bukankah kita ini sudah menikah? Mengapa harus pisah ranjang?"

Rauf masih diam. Dia menatap lekat-lekat wanita yang matanya masih berkaca. Napasnya tersengal akibat ingin menahan diri agar tidak menangis.

"Kukira ... kukira kamu benar-benar mulai membuka hatimu untukku. Setidaknya ... belajar? Apakah tidak bisa belajar untuk mencintaiku? Aku ini istrimu, Mas. Aku ...." Tangis Syifa semakin pecah. Dia menangis tersedu-sedu di depan Rauf yang saat itu hanya berdiri memandangnya. Kemudian dia menunduk.

Jemarinya menengadahi tetesan air mata, merasakan duka-lara di dalam jiwa.

Beruntung, Pak Nur sedang tidak ada. Jadi hanya keduanya yang bisa merasakan atmosfer kekecewaan seorang gadis terhadap pasangannya.

"Aku sedang belajar, Fa. Aku sedang belajar." Kali ini Rauf juga menunduk. Dia tidak sanggup melihat seorang gadis yang menangis karenanya.

Namun, bagaimana lagi? Bukankah cinta tidak bisa dipaksa? Di hatinya masih ada gadis lain selain istrinya. Dosakah dia?

"Bukankah belajar ada tahapannya?"

"Bukankah baru beberapa jam yang lalu kamu ingin membuatku bahagia?" Kini giliran Syifa yang berbicara. Napasnya tersengal, lirih nadanya sembari menatap sang lawan bicara pilu.

"Iya, tapi untuk tidur denganmu itu ... beri aku waktu, Fa. Beri aku waktu. Bukankah akan lebih menyakitkan jika aku menidurimu tetapi memikirkan gadis lain?"

Syifa tersenyum pilu, menatap Rauf dengan mata masih berkaca. Air matanya mengalir begitu saja dengan derasnya. Pun dengan hatinya yang semakin hancur.

Istri mana yang tidak sakit hati mendengar pengakuan sendiri dari sang suami bahwa hatinya masih milik orang lain, bukan dirinya?

"Gadis itu siapa?"

Rauf menelan susah saliva, menunduk tak berani menatap Syifa yang masih terduduk di ranjang. Hanya tangisan pilu yang terdengar di telinganya. Apalagi saat Syifa melontarkan pertanyaan itu.

"Humaira?"

DEG!

Rauf kali ini mengangkat kepala, dia menatap Syifa yang tersenyum dengan masih berlinangan air mata.

"Mengapa kamu menikahiku jika ada gadis lain di hatimu, Mas? Mengapa? Apa aku ini hanya kamu jadikan sebagai pelampiasan karena kamu tidak bisa menikah dengan gadismu itu. Apakah karena aku kalian tidak jadi menikah? Benarkah demikian?"

"Kamu ... tahu nama Humaira dari mana?"

Syifa tersenyum kecut, memalingkan muka dengan tangannya mengusap air mata.

"KAMU TAHU DARI MANA? JAWAB AKU, FA! JAWAB AKU!" Suara Rauf menggelegar membelah kesunyian, membuat hati Syifa menciut.

Mata Rauf bewarna merah, begitupun raut wajahnya yang merah padam akibat menahan amarah.

Bukankah Rauf sudah keterlaluan? Bukannya meminta maaf, dia malah memarahi gadis yang sekarang menjadi istrinya. Hati Syifa kembali menangis, pedih sekali rasanya.

"Tidak perlu kamu tahu bagaimana aku bisa ta---" Tiba-tiba, tangan Rauf mencengkeram pergelangan tangan Syifa. Rauf memasang wajah paling menyeramkan yang pernah Syifa tahu.

"Kamu ... membuka ponselku?" Syifa tidak menjawab, dia masih menangis tersedu, mengharap cengkeraman tangan Rauf terlepas.

"FA! JAWAB AKU! KAMU MEMBUKA PONSELKU?"

"Aku tidak sengaja melihat---"

PLAK!

Kini, mata gadis malang itu sembab, dia kembali menangis sejadi-jadinya setelah mendapat tamparan keras dari Rauf. Bahkan rasa sakit tamparan itu belum sebanding dengan rasa sakit di hatinya.

"BERANINYA KAMU MEMBUKA PONSELKU TANPA SEPENGETAHUAN PEMILIK? Mengapa kamu begitu tidak sopan? Apakah ibu dan bapakmu tidak pernah mengajari sopan santun kepadamu?"

Sakit, sakit sekali. Pedih semakin pedih dirasakan gadis malang itu. Seharusnya ... dia tidak menerima tawaran itu dulu.

"Bahkan papa pun tidak pernah membuka ponsel anaknya sendiri," kata Rauf menatap tajam Syifa. Tidak peduli lagi gadis itu menangis meronta seperti apa pun, dia tidak akan kasihan.

Di sisi ranjang, Syifa masih tergugu. Menangis dengan tangan kanannya memegang pipi yang memerah akibat terkena tamparan. Hatinya semakin sakit, benar-benar sesak.

Setelah itu, Rauf melangkahkan kaki menuju pintu. Belum sempat dia sampai di pintu, tiba-tiba Syifa melirih, membuat Rauf menghentikan langkah.

"Mengapa, Mas ...," lirih Syifa. Dia menunduk, merasakan beban yang dipikulnya sebagai seorang istri tak diharapkan sangat berat. Rauf berbalik badan dan menatapnya.

"Mengapa kamu menikahiku jika tidak suka padaku? Mengapa kamu selalu memberikan perhatian dan cinta palsu seolah-olah memberiku harapan agar suatu saat aku benar-benar bisa memilikimu? Mengapa, Mas? Mengapa?

"Baiklah, aku tidak keberatan jika kamu mengatakanku sebagai gadis tidak sopan yang membuka ponselmu. Demi Allah, Mas, aku tidak sengaja. Aku tidak sengaja melihatnya. Lagi pun ... mengapa aku harus meminta maaf kepadamu? Bukankah ini adalah hakku, mengetahui apa-apa yang ada di dirimu? Hakku sebagai istri, kan?

"Tapi jangan pernah berkata jika aku tidak sopan karena kedua orang tuaku, Mas. Jangan pernah menyalahkan kedua orang tuaku. Mereka mendidikku dengan penuh kasih sayang, mereka bekerja keras mendidikku agar aku menjadi gadis yang memiliki akhlak yang luhur. Perihal tidak sopan, ini memang ketidakbecusanku dalam memelajari apa yang telah diajarkan mereka, bukan mereka yang tidak becus dalam mendidikku.

"Jika kamu berkata aku tidak sopan ... mengapa tidak berkaca saja? Sopankah tindakanmu menampar gadis yang belum kau gugurkan kewajibanmu dengannya? Bukankah aku yang seharusnya menamparmu, mengatakan jika Humaira adalah perusak hubungan kita saat ini?

"Aku lelah, Mas," katanya, "aku lelah jika harus seperti ini. Mencintaimu sama saja aku melukai diriku sendiri. Apakah salah jika selama ini aku mencintaimu? Jika iya, tolong, jangan memberi  harapan. Aku tidak ingin berandai lagi, itu terlalu menyakitkan.

"Dan, satu lagi, Mas. Jika memang kamu benar-benar masih mencintai gadismu itu, bukankah seharusnya kamu memperjuangkannya? Pulangkanlah aku, Mas. Pulangkanlah aku," katanya dengan tersedu.

Rauf menatap Syifa kosong. Apa yang ada di pikirannya? Alih-alih meminta maaf, Rauf malah melangkahkan kaki ke luar kamar. Dia meninggalkan gadis yang masih menangis terisak, merasakan hatinya yang sudah tercabik-cabik.

Menatap kepergian Rauf, Syifa sadar. Dia memang tidak ditakdirkan di rumah ini. Bergegas dia mengemasi kembali pakaiannya.

Hari ini dia akan kembali ke rumah.

A/n: halo, saya kok males nulis cerita ini, ya? Kalau suatu saat cerita ini terhapus jangan kaget, ya? Dan, jangan heran kalau nggak bikin baper semakin ke sini. Soalnya saya males hoho :v

Sekian, terima kasih buat yang sudah baca.

Salatiga, 8 Desember 2019
Alifah Fitry

Sang Bidadari Bumi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang