Dua Belas

9.9K 729 13
                                    

Dengan tergesa, seseorang mengetuk pintu. Raut wajahnya khawatir, dengan debaran dadanya yang semakin cepat.

Tok-tok-tok!

"Buka," ujarnya pelan. Walaupun, hatinya menyelinap rasa khawatir yang mendalam terhadap Syifa.

Menunggu waktu yang agak lama, akhirnya seseorang membukakannya. Seorang gadis berkulit sawo matang yang berambut kira-kira sebahu.

"Mbakku sudah ke sini?" tanyanya khawatir.

"Sudah, aku menyuruhnya untuk beristirahat di kamarmu. Jika saja kamu tidak mengamanahiku tadi, aku tidak akan percaya jika itu mbakmu," ujarnya sembari menepuk pundak Ana pelan. Ana mendengkus, dia menatap gadis di sampingnya dengan wajah dijelek-jelekkan.

"Iyalah beda, cantikan mbakmu. Nah itu barusan contohnya, eneg banget dilihat sumpah." Keduanya tertawa menanggapi candaan gadis itu. Kemudian, Ana duduk di sofa. Membiarkan tubuhnya sedikit beristirahat di sana. Untung ada gadis itu di kosannya.

Di kos, hanya ada empat orang. Ketiga-tiganya---termasuk dirinya, adalah mahasiswi. Kebetulannya lagi, mereka juga sepertinya, sedang KKN. Maklum, kosannya kecil, bisa dibilang kosan termurah di kota itu. Untuk membayar kos pun dia harus bekerja di salah satu supermarket.

"Tidak menyapa mbakmu dulu, heh?" tanya perempuan berambut sebahu itu. Ana menatapnya beberapa detik, kemudian melepaskan tas punggungnya.

"Nanti saja, setidaknya tunggu aku meregangkan otot-ototku terlebih dahulu." Tangannya menegang, dia meregangkan setiap ototnya. Berangkat ke sini tadi, dia supercepat. Takut-takut kalau Syifa salah jalan dan tidak sampai di kosannya, atau yang lebih parah adalah sudah sampai di kosan tapi tidak ada seorang pun yang di rumah. Maka dari itu, dia meminta gadis berambut sebahu tadi yang memang tidak sedang ingin ke mana-mana. Entahlah, rasa sayang dan khawatirnya kepada Syifa melebihi rasa khawatirnya kepada diri sendiri.

Gadis berambut sebahu itu meninggalkannya kemudian masuk ke kamar. Ana perlahan mengintip ke kamarnya, terlihat kakaknya yang masih sibuk berkutat dengan melihat-lihat buku-buku kuliahnya.

Karena mendengar pintu terbuka, Syifa berucap, "Masuk saja, Dik Ana. Kenapa di situ? Toh ini juga kamarmu. Mbak cuma numpang di sini sebentar." Syifa membalikkan badan, tersenyum menatap Ana yang bersembunyi di belakang pintu.

"Yah, ketahuan!" Ana mendengkus kesal. Selalu saja seperti itu, Syifa bisa menebak apa yang akan dia lakukan. Dari dulu hingga sekarang. Mukanya ditekuk, membuat Syifa tertawa kecil.

"Mbak sudah hafal sama kebiasanmu, Dik."

Ana menatap kakaknya penuh sayang sebelum mencibirnya. "Mbak yang hafal atau curang?"

Syifa kembali tertawa. Saat-saat bersama adiknya sungguh membuatnya sedikit melupakan duka lara. Ana pelipur lara baginya.

Hening beberapa saat, hingga Syifa berkata, "Maafkan mbak, ya, Dik. Mbak merepotkanmu."

Gadis di hadapannya yang tak lain dan tak bukan adalah Ana pun menggeleng. "Mbak tidak pernah merepotkan Ana, kok. Mbak itu ... kalau ada masalah ya diceritain, jangan disimpan sendiri, Ana tidak suka."

Syifa tersenyum, matanya menatap langit-langit ruangan, air matanya berlinangan.

"Kalau belum siap cerita denganku, boleh kapan-kapan, Mbak. Ana tidak berhak mendesak Mbak Syifa. Lagi pun, kalau memang itu benar-benar rahasia dan tidak ingin aku mengetahuinya ya tidak papa. Tapi sekali lagi, berbagi masalah dengan orang lain akan lebih baik dari pada memendam masalah sendiri."

Diam.

Hening.

Tidak ada suara yang mengisi atmosfer mereka. Ana menunduk, membiarkan Syifa memutuskannya.

Sang Bidadari Bumi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang