"Bwa!!!" Syifa segera berjengkit, napasnya keluar tak beraturan saat melihat Rauf tengah mengagetinya dengan hanya memakai handuk untuk menutupi bagian bawah dirinya.
"ASTAGFIRULLAH, BAMBANG!"
Pemuda itu beringsut mendekati Syifa yang masih mengelus dada, mencoba menormalkan kembali napasnya yang menderu. Dia menaikkan satu alis. "Bambang itu siapa?" tanyanya curiga.
Gadis itu menepuk jidat, melihat suaminya yang begitu kuno. Bagaimana dia tidak tahu Bambang, orang yang sering dibicarakan di negara +62 tercinta ini.
Sudah dua hari sejak peristiwa Rauf yang sakit, kini mereka kembali ke rumah Rauf. Seperti janjinya, sekarang Rauf memang lebih memerhatikannya. Sedikit demi sedikit sifatnya berubah menjadi lebih manja dan jail kepadanya.
Tak ada lagi perseteruan di antara mereka. Pun jika ada sedikit, Rauf pasti langsung cepat-cepat mencoba melupakan dan memeluk wanitanya dengan hangat. Syifa pun sama, dia semakin dewasa. Semakin tahu bagaimana cara berumah tangga. Walaupun pernikahan mereka belum genap setahun, tetapi sepertinya perempuan itu sudah bisa menjadi istri yang baik bagi Rauf.
"SIAPA ITU BAMBANG, SYIFA!" teriak Rauf sedikit sebal, dia menatap wanita di depannya dengan tatapan malas. Sedangkan yang ditatap malah semakin membuatnya sebal, gadis itu cengengesan tidak tahu bagaimana perasaan Rauf saat ini.
"Bambang itu ...," kata Syifa menggantung, dia sengaja menggoda suaminya yang baru saja membuat dirinya kaget karena hanya memakai handuk untuk menutupi bagian bawahnya. Dan sekarang pun masih sama.
Pandangan mata Rauf kini sedikit berbeda, dia mengalihkan pandangannya menuju ke sekitar, dahinya sedikit mengerut. Sepertinya dia memikirkan sesuatu. "Siapakah gerangan si Bambang itu sampai membuatmu tergila-gila padanya, heh? Memangnya dia itu ...." Tiba-tiba, Rauf membelalakkan mata sempurna, dia menatap Syifa sedikit selidik.
"Bambang penjual pecel di depan rumah itu? Apa Bambang yang jadi Mamang Cilok di alun-alun kota itu?"
Mendengar itu semua, Syifa tertawa terbahak-bahak, dia melihat tingkah aneh dari suaminya. Sungguh mengesankan. Jika Rauf bukan suaminya, mungkin sudah dari tadi dia melempari Rauf pembersih WC agar pemuda itu diam. Selain itu, dada bidangnya juga membuat dirinya menimang untuk melakukan itu.
Tiba-tiba Rauf mendekati Syifa, matanya memelotot sempurna. Sensasi takut timbul di seluruh badan Syifa, bahkan gadis itu susah menelan saliva. Dekat, semakin dekat. Pemuda itu kini memojokkannya di sudut kamar, membuat dirinya sedikit merasakan sesak. Apalagi saat menatap mata Rauf yang memelotot sempurna. Sungguh, dia bergidik ngeri!
"SIAPA ITU BAM---"
Cup!
Mata Rauf semakin memelotot saat bibirnya dikecup oleh Syifa. Dia kaget bercampur tidak percaya. Tiga detik setelah bibir keduanya melekat, Syifa segera melepaskannya. Pipi gadis itu memerah sempurna, dia mengusap bibir dengan tangan kanannya, kemudian menunduk. Dia tidak berani menatap Rauf. Dia juga tidak mau mendongak, takut Rauf melihat pipinya yang bersemu merah. Dia malu.
"Kamu ...." Rauf berkata menggantung, membuat dada Syifa berdesir hebat. Jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya.
"Maaf, aku---" Belum sempat Syifa melanjutkan pembicaraan, tiba-tiba Rauf memeluknya dan mengangkat tubuhnya ke ranjang.
Syifa berontak ingin diturunkan, walaupun dalam hatinya senang sekali. Apalagi ketika dia membayangkan dada Rauf yang bidang dan perutnya yang seperti roti sobek, kotak-kotak seperti karakter-karakter sempurna yang dia baca di novel.
Sampai di ranjang, Syifa menutup wajahnya dengan bantal, dia menjejal-jejalkan kaki ke Rauf. Namun, kekuatannya tidak sebanding dengan Rauf. Fisiknya terlalu lemah untuk berontak pemuda seperti Rauf yang suka berolah raga.
"Hm, kamu tidak bisa diam, ya?" Rauf menggeleng-gelengkan kepala, kemudian mendekati Syifa yang sedang menutup kepala dengan bantal. Dengan paksa Rauf merebut bantal itu untuk melihat wajah Syifa yang sudah memerah seperti kepiting rebus.
Rauf awalnya hendak tertawa, tetapi diurungkan setelah melihat istrinya yang semakin hari semakin imut. Gadis itu mendengkus, menjulurkan lidah ke Rauf seolah mengejek.
Dengan sengaja Rauf mendekatkan wajahnya ke Syifa, membuat gadis itu semakin memerah. Apalagi saat napasnya telah dapat dirasakannya, itu membuat dirinya sedikit menutup mata. Dadanya bergetar hebat.
Sedetik.
Dua detik.
"Kamu menunggu apa? Kenapa tutup mata?" tanya Rauf sembari menggoda Syifa. Alisnya dinaik-turunkan, membuat Syifa jengkel adalah prioritasnya saat ini. Entah kenapa, Syifa selalu sebal bercampur bahagia saat digoda saat ini.
"Dasar, lelaki penggoda!" Wanita itu sok-sokan tak peduli pada Rauf, kemudian wajahnya cemberut. Beberapa senti bibirnya maju, sedangkan Rauf tertawa renyah.
"Eleh, menggoda istri tidak boleh? Lagi pula---"
"Rauuuff!!!" teriak Pak Nur dari luar, itu membuat dia berjingkat dari ranjang menuju ke lemari pakaian.
"Iya, Pa, sebentar lagi," jawab Rauf tak kalah berteriak. Dia segera memilih jas yang akan dikenakan. Hari ini Pak Nur mengajaknya ke kantor untuk melihat-lihat, karena sebentar lagi jabatan sebagai CEO akan dia serahkan ke Rauf, setidaknya Rauf harus mengenal dengan baik wilayah yang nanti akan dipimpin.
Dari cermin Syifa dapat melihat dahi Rauf berkerut, dia bimbang. Seperti wanita saat belanja, hendak memilih A atau B. Gadis itu tertawa renyah. Suaminya benar-benar berubah beberapa waktu ini, dan itu cukup membuatnya sedikit gembira. Semoga saja di hatinya hanya ada Syifa ... semoga.
Sepersekian detik kemudian Rauf menggeleng, mencoba-coba jas yang ada di lemari beberapa kali sebelum akhirnya memutuskan memakai jas lama.
"Kenapa memakai jas lama? Bukankah sudah papa belikan yang baru? Mengapa tidak dipakai?" Begitulah tanya Pak Nur saat melihat dia memakai jas lama. Rauf menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Bingung, Pa. Lain kali kalau belikan Rauf jangan banyak-banyak, boros itu temannya setan, Pa. Papa tahu, kan? Lagi pun, aku lebih suka ini. Lebih simpel dari yang lainnya."
Pak Nur berdeham sebentar, kemudian mengambil nasi. Dehamannya kembali saat melihat Syifa mengambilkan nasi untuk Rauf. "Hm, papa sepertinya butuh istri ba---"
Gubrak!
Pak Nur spontan terkejut, begitupun Syifa. Mereka menatap Rauf takut-takut. Rauf baru saja menggebrak meja, membuat kedua manusia di dekatnya menatapnya lekat-lekat.
"Pa, sudah waktunya berangkat, kan? Lihat, ini sudah pukul delapan pagi." Rauf memperlihatkan jam tangannya kepada Pak Nur, lelaki yang rambutnya sudah ditumbuhi uban itu memgangguk, kemudian membereskan makanannya. Padahal, mereka baru saja tiba di meja makan tiga menit yang lalu, dan Pak Nur belum sedikit pun menyentuh masakan Syifa.
"Ah, benar. Kita harus disiplin," kata Pak Nur canggung, "Nduk, maaf, ya. Nanti kapan-kapan akan bapak coba. Ini buru-buru sekali."
Syifa mengangguk maklum, dia merapikan jas suaminya dengan telaten. "Jangan pulang malam-malam, ya."
Rauf mengangguk. "Kamu jangan rindu, soalnya kata Dilan rindu itu berat."
Syifa kembali tertawa, dia sungguh melihat bucin sejati di diri Rauf. Dia melambaikan tangan. Sebelum pergu, Rauf berkata, "Kamu memanglah bukan Humaira, tapi kamulah Khadijah, istri tercinta Muhammad."
Penggalan demi penggalan kata itu membuat dadanya berdesir. Ya Allah ... bagaimana dia bisa bermimpi menjadi seorang Khadijah? Istri satu-satunya Rasulullah yang tidak dimadu. Istri pertama yang mampu membuat Rasulullah galau berhari-hari.
Rauf, kaulah Muhammadku.
Halo, selamat hari ibu semua, yeay, yeay! Buat emak di seluruh pelosok negeri +62, saya mewakili anak, mengucapkan: Emaaak! I love you, maafkan anakmu ini.
Akhirnya SBB akan segera berakhir. Siapa yang setuju? Cung!
Jangan lupa tinggalkan komentar serta vote-nya, ya! Kalau perlu share ke teman-teman lain untuk baca juga cerita yang gak jelas ini. Hehe. Syukron katsiir.
Salatiga, 22 Desember 2019
Alifah Fitry
11.11
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Bidadari Bumi [END]
SpiritualAn amazing cover by. @Es_Pucil Menikah tanpa dasar cinta, apakah bisa? Takdir seakan tengah menguji Syifa saat seorang pria paruh baya melamarkan anaknya, Rauf. Pernikahan yang dia dambakan seperti romantisme kisah Humaira bersama Rasulullah adalah...