Tiga Puluh Empat

9.7K 507 19
                                    

Matahari menerpa, Syifa duduk di depan jendela dengan mengusap perutnya yang sudah membuncit. Senyum wanita itu terbit tatkala dia membayangkan sebuah tangan kecil yang berusaha menggapainya.

Semilir angin juga menyapanya, masuk ke tulang-belulang yang membuatnya sedikit menggigil. Untung saja cahaya sinar mentari sedikit membantunya.

Dia ingin menamai anaknya siapa? Memakai baju apa?

Ah, dia tidak sabar untuk melihat senyum manis buah hatinya nanti. Atau saat sudah beranjak dewasa, dia memanggilnya dengan sebutan mama.

Dada Syifa naik turun, hatinya bergetar hebat. Rasa bahagia itu membuncah sampai ke ubun-ubun. Dia berdebar-debar tak karuan. Tidak sabar melihat buah hatinya berjalan dan tersenyum lucu kepadanya.

Ya Allah....

Tiba-tiba lamunannya terhenti saat melihat ada sebuah notifikasi masuk di ponsel pintarnya. Dia berjalan sedikit tergopoh menuju nakas lalu meraihnya. Tertera nama Ana di sana. Memanggilnya dua belas kali.

Ya Allah... ada apa ini?

"Halo... assalamualaikum?"

"Waalaikumussalam, Mbak. Tolong Ana, Mbak, tolong Ana," kata Ana di seberang sana. Suaranya menggema sampai ke dinding telinga. Diselingi dengan suara sesenggukan seperti menangis.

"Astagfirullah, Dik. Ada apa? Mengapa kamu menangis?"

"Panjang ceritanya, Mbak. Dari mana Ana harus memulai?" katanya masih sesenggukan.

Sebenarnya, ada apa dengan Ana?

***

"Bagaimana, Uf? Apa kamu tidak tertarik setelah melihat ini?" Lelaki itu tersenyum kemenangan. Sepertinya, Rauf telah masuk ke jebakan yang dia buat. Lelaki mana yang tidak akan tergoda dengan tubuh wanita? Sealim-alimnya seorang pria, pasti akan tergoda. Tidak sia-sia dua jam ini dia mencoba membujuk Rauf.

"Aku masih punya istri, aku tidak bisa."

"Kamu sudah besar, Uf. Kamu sendiri yang berhak melakukan iya atau tidak, bukan lagi terpaut dengan orang lain. Kamu mengerti?"

Ya Allah... mana ada kucing yang tak memakan ikan yang sengaja disediakan untuknya? Adakah?

Bagaimana ini? Dia keringat dingin. Di satu sisi ada satu hati yang harus dia jaga, di sisi lain dia tidak bisa berbohong jika tawaran ini cukup menggiurkan.

"Jika aku ingin melakukannya, sudah dari dulu-dulu aku mencari wanita penghibur, bahkan yang mahal sekalipun. Kenapa aku dulu tidak melakukannya? Karena cara itu sangat kotor dan tidak berkelas. Apalagi dosa yang bertambah-tambah. Selingkuh sepertiku sudah masuk ke kategori muhsan, yang pelakunya akan dihukum rajam sampai mati.

"Aku ini pendosa yang hebat, sampai menangis aku mengingat seluruh dosaku. Bayangkan saja, Allah menciptakan kita untuk senantiasa menyembah kepada-Nya tapi kita malah menyalahfungsikan segala fasilitas Allah ini dengan maksiat. Aku takut... takut jika nanti tanggung jawabku tambah besar. Ada hati yang harus kujaga, hati wanitaku yang benar-benar kucintai bahkan melebihi wanita-wanita tak berbusana ini. Mereka bahkan tidak ada apa-apanya dibanding dengan wanitaku. Mereka tak punya malu menjual harga diri seperti ini. Astagfirullah." Rauf menggeleng. Dia ingin menangis tapi tak bisa. Batinnya merintih-rintih. Dosanya sudah banyak, mengapa Allah memberikan dia cobaan seberat ini? Astagfirullah... astagfirullah....

Dia bukanlah lelaki yang pandai menjaga hawa nafsu. Dia bukanlah lelaki yang pandai menjaga pandangan dan agama. Mengapa harus dia yang diberi cobaan seperti ini?

Sang Bidadari Bumi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang