"Bagaimana?" tanya Pak Nur kepada Rauf. Pemuda itu yang baru masuk rumah selepas pulang dari bepergian itu pun sedikit tersentak, namun kemudian menunduk, duduk di depan ayahnya yang sedang menatap serius.
"Tidak mau, Pa."
Mata tua Pak Nur menatap anak lelaki semata wayangnya itu dengan tatapan prihatin, kemudian menghela napas berat.
"Dia bilang ingin menyelesaikan studinya dulu, baru menerima pinangan Rauf." Mata pemuda itu mengedar, menatap setiap inci rumahnya secara acak, kemudian merasakan gemuruh di hatinya tengah memuncak.
"Bagaimana jika kamu melupakan gadis pinanganmu? Papa sudah mencari seorang gadis yang sepertinya cocok untukmu. Baik, berjilbab, dan semoga saja baik akhlaknya seperti yang terlihat dari luar."
Rauf tampak berpikir sejenak, kemudian berdiam diri beberapa detik. Bagaimana bisa dia jatuh cinta dengan seseorang, tetapi malah dijodohkan dengan orang yang tidak dicintainya?
"Papa cuma takut nanti kamu terjerumus zina, Uf." Mata tua itu menatap kosong ke arah vas bunga yang terbuat dari pualam bewarna krem. Keriputnya jelas sekali terlihat, dengan nada suaranya berpamor.
Bukan tanpa dasar pria tua itu menginginkan anak semata wayangnya untuk menikah. Beberapa hari yang lalu dia mendapat kabar-kabar jika anaknya jatuh cinta dengan seseorang. Saat ditegur, Rauf pun langsung berkata jika ingin menikahi gadis itu agar tidak menimbulkan fitnah lebih lanjut. Namun, hari ini wajah masam Rauf terlihat, menandakan sang gadis yang dicintainya belum siap ke jenjang pernikahan. Alasan ingin menyelesaikan kuliah, atau alasan lain.
Pak Nur tidak ingin salah langkah. Dia pernah muda. Pernah merasakan bagaimana menjadi seperti Rauf di posisi ini. "Jadi ... kamu mau menunggu gadis itu hingga lulus kuliah?"
"Tidak, Pa," jawab Rauf, yang sukses membuat mata Pak Nur terbelalak. Apa maksudnya?
"Rauf menerima tawaran menikah itu, Pa."
Mata tua itu semakin terbelalak, dia terheran-heran. "Walaupun belum melihat orangnya?" Rauf mengangguk.
"Kalau orangnya cacat bagaimana?" Pak Nur menatap wajah anaknya yang penuh harap. Sebenarnya, dia tidak tahu apa alasan Rauf langsung menerima perjodohan ini. Bukankah pemuda itu masih menyimpan nama sang gadis di hatinya? Apa tidak apa-apa?
"Papa bilang orangnya berjilbab, kan? Menurut Rauf, cantik tidak harus berkulit mulus. Pakai skin care yang muluk-muluk. Rauf hanya ingin istri Rauf cantik di mata Allah. Jika dia cantik di mata Allah, maka akan cantik pula di mata Rauf, Pa. Lagi pula, Rauf percaya kepada Papa. Siapa pun nanti calon Rauf, Insyaallah mampu membahagiakan Rauf."
Pak Nur manggut-manggut. "Bagaimana dengan gadis yang baru saja kamu lamar? Nanti kalau dia sudah lulus dan langsung mengajakmu menikah? Masih adakah namanya di hatimu?"
Pemuda itu menghela napas berat, dadanya bergemuruh. Ingin menangis, tetapi tidak bisa. Lagi pula, dia tidak ingin terlihat cengeng di mata sang papa.
"Rauf Insyaallah siap melupakan dia, Pa. Rauf menerima perjodohan ini atas dasar nama Allah, atas dasar ibadah untuk menyempurnakan agama. Rauf bisa perlahan-lahan melupakan gadis itu." Dia menunduk, merasakan kecamuk di hatinya. Bukan ... gadis itu menolaknya bukan karena ingin menyelesaikan studinya, tapi gadis itu memang tak ingin menikah dengannya. Entah ... selama ini dia terlalu berharap kepada gadis itu.
"Oke, kalau ingin tahu, kamu nanti ikut papa ke rumahnya."
***
"Bajunya bagus yang mana?" Pak Nur mengernyitkan kening, memilih baju yang cocok untuk Syifa. Pipi gadis itu bersemu merah saat berulang kali dilihat oleh Rauf. Pasalnya, pemuda itu juga sibuk mencari baju pengantin untuk Syifa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Bidadari Bumi [END]
EspiritualAn amazing cover by. @Es_Pucil Menikah tanpa dasar cinta, apakah bisa? Takdir seakan tengah menguji Syifa saat seorang pria paruh baya melamarkan anaknya, Rauf. Pernikahan yang dia dambakan seperti romantisme kisah Humaira bersama Rasulullah adalah...