Lima Belas

10.3K 733 22
                                    

Rintik hujan masih ada di luar sana. Dingin belum jua pergi, menyisakan aroma tanah bekas tempiasan hujan hingga masuk ke rongga hidung. Bapak tengah terbaring tak berdaya di ranjang, menggigil kedinginan walaupun sudah memakai jaket dan dilapisi tiga selimut sekaligus.

"Ke mana aja, to, Nduk, Nduk." Ibu menangis melihat Syifa, dia mengelus jilbab Syifa sayang. "Bapak mencarimu ke mana-mana." Mata tua Ibu menatap lelaki yang terbaring di ranjang. Genap dua hari ini bapak mengigau memanggil nama Syifa. Gadis itu menghela napas perlahan, kemudian mendekati bapak.

Punggung tangannya ditempelkan ke tangan bapak. Panas sekali. Dia jadi merasa bersalah dengan mereka, kecuali Rauf. Entahlah, dia sepertinya belum bisa memaafkan suaminya.

"Bapak, ini Syifa, Pak." Bapak mengerang, kemudian wajah pucatnya melihat Syifa dengan tersenyum.

"Akhirnya pulang, Nduk. Jangan lama-lama seperti ini, to. Dalam rumah tangga itu jangan sampai kejadian seperti ini." Syifa menunduk, dapat dirasakannya dada gadis itu yang berdebar tak karuan. Sesak sekali saat mengingat peristiwa awal mula ini semua terjadi.

Ingin menangis tetapi tidak bisa, dia menatap mata bapak yang perlahan terpejam. Napasnya kembali teratur, tidur dengan bibir menggigil dan muka pucat membuatnya khawatir.

"Tidak apa-apa, Fa. Bapakmu cuma kelelahan, itu cuma masuk angin biasa." Syifa mengangguk. Dia segera mengambilkan air hangat untuk bapak di dapur. Saat hendak ke dapur, dia melewati ruang tamu. Tak sengaja dia melihat Rauf yang sedari tadi sudah duduk di sana dengan pakaian basah kuyup.

"Suamimu mbok ya diurus dulu sana, Fa. Biar ibu yang ngurus bapakmu. Kasihan itu Raufnya," kata Ibu saat Syifa sudah berada di kamar dengan membawa segelas air hangat.

"Alah, Bu. Tidak papa. Biarkan saja."

"Tiga hari ini dia selalu ke sini, lo, Fa. Kasihan sekali selalu kecilik. Apa pun masalahnya, Fa, jangan sampai marahan seperti ini. Tidak baik dilihat tetangga."

"Dik Ana sama Pak Nur sudah ke sini, ta, Bu? Kok dari tadi Syifa tidak melihatnya." Syifa mengalihkan pembicaraan mereka. Ibu menghela napas perlahan, menatap Syifa dalam-dalam.

"Sudah semua. Kasian sama Rauf, Nduk. Dia yang ngabarin ke kamu kalau bapak sakit." Syifa masih tidak terlalu peduli. Masa bodo dengan pesannya yang membludak. Dia tahu kondisi bapaknya dari mertuanya, bukan suaminya.

"Biarkan saja, Bu. Syifa capek kalau harus seperti ini terus. Manusia juga ada lelahnya, Bu." Muka Syifa berubah sedikit masam. Walaupun dia sudah berusaha mencegah di depan ibunya, sepertinya usaha itu tidak berhasil.

"Nduk ...," panggil Ibu. Mata teduh ibunya menatap Syifa dalam-dalam dan kasih sayang. Jemari keriputnya mengusap lembut jilbab Syifa.

"Nanti saat Syifa sudah mencari pekerjaan, Syifa akan membelikan Ibu dan bapak ponsel, ya?" Syifa tersenyum, memamerkan deretan gigi-gigi putih bersihnya. Dia menatap manik mata Ibu yang begitu menawan baginya. Hanya mata itu yang mampu merasakan suasana hatinya saat ini.

Syifa segera keluar dengan membawa koper menuju kamarnya. Tak sengaja dia melihat Rauf yang ketiduran di sofa. Kemeja dan celananya basah, dengan rambutnya klimis karena sehabis hujan-hujan. Bibirnya pucat bergetar, gigi-giginya bergemeletuk karena menggigil kedinginan. Gadis itu pura-pura tidak melihat.

Sampai di kamar dia mengempaskan tubuh ke ranjang. Matanya diedarkan ke selurug penjuru ruangan. Dulu Rauf pernah memergokinya hanya pakai handuk di sini. Gadis itu tersenyum, dalam hatinya berbisik, "Cepat sembuhlah, Mas Atha."

Atha adalah panggilan kesayangan yang dia berikan kepada Rauf, ya ... walaupun belum pernah dia gunakan untuk memanggil Rauf, tetapi dia yakin suatu saat akan memakainya. Senyum di bibirnya mengembang, beberapa detik kemudian memudar.

Sang Bidadari Bumi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang