Dua Puluh Tiga

8.4K 586 19
                                    

Malam semakin larut, jam telah menunjukkan pukul sepuluh malam. Mereka menatap Syifa yang masih tersenyum. Senyum yang menyimpan sejuta kekecewaan, senyum yang menyimpan sejuta rasa sakit. Mungkin benar kata orang, wanita mampu menipu diri dengan berpura-pura bahwa mereka sedang baik-baik saja di depan orang. Mereka pandai menyembunyikan setiap gurat kepedihan di dirinya sendiri. Namun, sekeras apa pun dia mencoba menutupi, keadaan malah nyaris membuatnya semakin menyedihkan.

"Tidak ada yang akan menceraikanmu, Nduk." Lirih Pak Nur sembari menatap Rauf beberapa detik, di mata anaknya hanya ada rasa penyesalan yang teramat-sangat.

"Saya bersedia, Pa. Syifa bersedia untuk ditalak Mas Rauf jika memang itu bisa membuatnya bahagia. Insyaallah, Syifa ikut bahagia."

Atmosfer di ruangan itu tak seperti biasanya. Bola mata gadis itu tak lagi bercanda, dia sudah benar-benar siap jika harus menjadi janda muda. Daripada harus hidup serumah dengan pemuda yang sama sekali tak mencintainya, itu akan terlihat lebih menyakitkan. Pak Nur dan Rauf diam. Kini pemuda itu menunduk, batinnya berkecamuk. Entahlah, dia sudah melakukan hal besar ini, dan tidak tahu bagaimana menyelesaikan sendiri. Segalanya semakin tambah runyam.

"Rauf tidak akan menceraikanmu, Nduk."

"Tapi, bagaimana dengan Ana? Mas Rauf memang sejak dulu mencintai adik Ana, bukan Syifa. Bagaimana mungkin saya bisa merusak kebahagiaan orang begitu saja? Itu akan terlihat sangat kejam. Biarlah saja Syifa yang bekorban, Ana adalah adik yang benar-benar saya cintai."

"Aku akan menikahi kalian ber---" Ucapan Rauf terpotong oleh Syifa, sepertinya gadis itu sudah tahu ke mana arah pembicaraannya.

"Itu tidak mungkin. Lebih baik aku berpisah denganmu daripada harus dimadu bahkan dengan adikku sendiri."

Tak lama kemudian, dengan sopan Syifa pamit undur diri. Matanya sedikit demi sedikit berat, sepertinya sudah tidak bisa menampung air matanya lagi. Napasnya berembus tak beraturan, ia menahan sesaknya dada saat berucap panjang lebar tadi.

Dia memang gadis munafik.

Ya... di ucapannya, dia sangat ikhlas jika suami yang jadi cinta pertamanya itu harus bersanding dengan adinya sendiri, tetapi di hatinya bertolak belakang. Dia bahkan sangat menginginkan Rauf menjadi miliknya seutuhnya, tapi sepertinya dia terlalu tinggi menghayal. Rauf tidak mencintai istrinya sama sekali.

"Fa...." Tangan kekar menahan tubuhnya. Mendengar suaranya saja dia sudah sakit, apalagi harus melihat wajah Rauf.

Rauf menghela napas perlahan, menatap gadis yang membelakanginya. Dengan segera dia menarik tubuh mungil Syifa mendekati badannya.

"Aku tidak akan menceraikanmu," katanya melirih di telinga Syifa. Mata gadis itu kini berkaca. Mendengar, menyentuh, bahkan berada di depan orang yang dicintainya itu kini sangat menyakitkan. Bahunya kukuh, tetapi dia tidak pantas untuk bersandar. Dia akhirnya berbalik, menatap mata teduh Rauf.

"Mas, talak saja aku, ceraikan aku. Aku tidak mau kamu mempertahankanku karena kamu mengasihaniku. Aku tidak mau dikasihani oleh lelaki sepertimu, bukankah aku terlihat menyedihkan di matamu?" Setetes air mata jatuh, diikuti beberapa tetes lainnya. Akhirnya, bulir air itu telah jebol dari bendungannya. Dada gadis itu sesak melihat Rauf yang hanya menatapnya, tidak melakukan sesuatu seperti meminta maaf atau menenangkannya. Rauf menatap gadis di depannya dengan tatapan sedikit kosong.

"Memang dari awal aku tahu kamu tidak pernah mencintaiku. Ada nama seseorang di hatimu, dan awalnya aku mewajarkannya karena kita ini orang yang dijodohkan. Sungguh menyakitkan ketika melihat bibir orang yang kamu cintai selalu bergetar, melafalkan doa untuk seseorang yang dicintainya tapi bukan dirimu. Sungguh menyakitkan ketika mendapat senyummu yang berusaha mencintaiku padahal anganmu pergi mencari gadis yang kaucinta. Dan yang lebih menyakitkan lagi, mengapa di antara berjuta wanita di dunia, kamu jatuh cinta kepada adikku sendiri? Bukankah ini adalah waktu yang tepat untuk menyelesaikan ini semua?

"Berhentilah menyakiti diri sendiri, berhenti berpura-pura jika suatu saat nanti kamu bisa mencintaiku. Tidak apa, cintaku saja sudah cukup untuk kita berdua." Air matanya semakin deras, dadanya semakin sesak. Mengatakan penggalan demi penggalan kata itu cukup membuatnya tersiksa. Napasnya tersengal, matanya merah membengkak. Jari jempolnya dia kaitkan dengan jari telunjuk menunjukkan huruf 'O' yang berarti dia akan baik-baik saja.

Gadis itu perlahan mundur dua langkah, berbalik badan dan berjalan terseok menuju kamar. Isakan tangisnya sudah sedikit mereda, sedang kedua tangan gadis itu menyeka air matanya sendiri. Dia meninggalkan Rauf di depan pintu ruang kerja Pak Nur sendirian. Bahkan Rauf pun tak mengejarnya, sungguh dia memang merasa bahwa hidup ini seperti sebuah novel, tetapi dia bukanlah pemeran utamanya. Dia adalah gadis figuran yang selalu mengharapkan cinta sang protagonis laki-laki tapi tidak pernah berhasil menggapainya. Karena apa? Di tangan penulis, protagonis laki-laki akan selalu bersama protagonis perempuan. Itu adalah jalan cerita yang sangat mutlak.

"Kamu bodoh," ucap Rauf dari kejauhan, membuat Syifa yang sudah setengah jalan terpaksa harus menghentikan langkahnya. Dia tersenyum kecut, menatap kaki-kaki mungilnya yang memakai rok potong bewarna merah muda berenda bunga.

"Ya, dari awal aku memang sudah bodoh. Bodoh sekali bisa jatuh hati kepadamu."

Rauf tertegun mendengar perkataan Syifa barusan, gadis itu kini menyambung langkahnya. Dia menatap punggung Syifa yang semakin mengecil. "Kamu bodoh karena selama ini menyimpan semua luka ini sendirian, berharap bahwa dengan menyimpannya sendirian akan menyelesaikan masalah. Itu tidak akan mengubah apa pun."

Gadis di depannya kembali menahan langkah, kaki mungil gadis itu yang semula menyeret ini berhenti. Dia menunduk. "Lantas, aku harus bagaimana? Bercerita pada dunia saat aku mempunyai masalah? Semesta tidak butuh itu dan tidak akan peduli."

Rauf masih menatap punggung Syifa, gadis itu tak menatap ke arahnya sama sekali sejak tadi. Hanya tundukannyalah yang membuat Rauf yakin gadis di depannya sedang tidak baik-baik saja.

Ah, siapa pula yang berpikiran bahwa Syifa akan baik-baik saja di saat suasananya begini?

"Apa aku harus bercerita kepadamu?" Lirihnya, kali ini dia membalikkan badan sehingga menatap Rauf sendu. "Apa aku harus menceritakan semua kepedihanku padamu? Kepada seseorang yang bahkan teramat-sangat membenciku?"

"Aku tidak mencintaimu bukan berarti aku membencimu." Syifa tersenyum kecut, dia mengalihkan pandangannya ke arah lain beberapa saat.

"Mengapa aku harus percaya kepadamu? Mengapa aku harus percaya kepada orang yang selalu menyakitiku? Mengapa aku...."

Tuk!

Tuk!

Tuk!

Tiba-tiba Rauf memeluknya, badannya sangat hangat. Jemarinya mengusap jilbab Syifa perlahan. "Mulai sekarang, berbagilah masalahmu kepadaku. Aku akan mencoba meringankan bebanmu, dan jika aku punya beban mari kita pecahkan bersama. Ingatlah bahwa memendam masalah sendirian tidak akan pernah menyelesaikan masalah, melainkan malah menambah kacau masalah, ya... Khadijahku?"

Ana yang tak sengaja melihat kejadian itu tiba-tiba memegang dadanya. Entah, perasaan sesak apa itu.

Assalamualaikum!
Bagaimana kabarnya? Oh ya, stay save, Kawan-kawan. Jagalah kebersihan, jangan lupa memakai masker saat ke luar, jangan lupa mencuci tangan pakai sabun, dan mandi secara teratur. Negeri ini sedang ada wabah, jangan sampai ada yang lengah.

Di kota saya sudah ada yang positif covid-19, dan sedang dirawat di salah satu rumah sakit. Bagaimana dengan daerah kalian? Dan semoga saya dan Kawan-kawan di mana pun berada selalu dalam perlindungan Allah SWT. aamiin.

Jangan lupa menjaga diri, tetap berolah gara dan minum vitamin c agar kekebalan tubuhnya meningkat. Virus menyukai tubuh-tubuh yang lemah.

Dan yang terakhir, semoga kalian yang menantikan Syifa tidak merasa kecewa dengan part baru ini.

Semangat semua!

Wassalamualaikum.

Salatiga, 16 Maret 2020
Alifah Fitry

Sang Bidadari Bumi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang