Enam

11.2K 899 33
                                    

"Pengantin baru kok diem-dieman," canda Ibu. Syifa hanya tersenyum mendengarnya. Bergegas, Rauf datang dari ruang tamu dan merangkul bahu Syifa dengan mesra.

"Kamu mau jalan-jalan malam ini? Aku pengin muter-muter di daerah sini."

Hampir saja, jantung Syifa dibuat copot oleh Rauf. Syifa yang saat itu sedang memegang piring di ruang makan pun sedikit terperanjat.

Punggungnya menempel dengan bahu Rauf, tersemat kehangatan di sana. Apalagi, saat wajah Rauf berada di samping wajahnya, embusan napas pemuda itu sangat dirasakannya. Membuat jantung Syifa berdebar hebat.

"Pepet terus ...," celetuk pemuda yang tersisa di sana. Sejak tadi pagi, dia masih memakai seragam karang taruna. Di antara para pemuda di desa Syifa, sepertinya hanya dia yang masih di rumah itu. Terlihat sekali sejak tadi dia sibuk mengurus ini-itu, menyelesaikan mandatnya sebagai ketua karang taruna.

Sambil menyesap rokok dan dudukan di ruang tamu bersama ayah dan Pak Nur, dia sesekali melirik Syifa dan Rauf yang masih pada posisi 'bikin ngiri jomlo'.

Syifa tersenyum, begitupun dengan Rauf. Ibu menimpali, "Makanya, cepat-cepat cari istri, biar bisa kayak mereka. Bisanya cuma ngiri aja dari dulu."

"Gimana?"

Jantung Syifa kembali berdebar, hatinya berdesir hebat saat merasakan embusan napas Rauf dari leher kanannya. Walaupun ditutupi oleh jilbab, tetapi jarak mereka yang terlalu dekat membuat bisikan Rauf terdengar sangat jelas.

"Duh, pengantin baru kok mesra-mesraannya di sini. Di sini itu tempatnya makan. Dasar, mentang-mentang pengantin baru aja." Pak Nur datang sambil menepuk punggung Rauf dari belakang membuat Rauf melengkuh, serta jarak mereka berdua semakin dekat saja.

Mungkin karena perkataan Syifa tadi membuat Rauf sedikit tidak enak. Tentang menanyakan keberadaan seseorang di hatinya padahal dia sudah menyandang status suami. Maka dari itu, dia mulai sedikit bermanja-manja dengannya dan berusaha mencairkan suasana yang sejak tadi sudah diperkeruh olehnya.

"Sakit, Pa!" Rauf berseru, suara baritonnya mampu membuat leher bagian belakang Syifa sedikit risih, dia tersenyum. Apa pun alasannya, yang paling penting sekarang adalah Rauf sudah mulai menerimanya.

Perihal sang Humaira itu ... biarlah dipikir sambil jalan. Rauf tak selamanya terus-terusan  bisa melabuhkan dua hati. Pasti nanti ..., salah satunya ada yang mengalah. Tinggal menunggu takdir yang menjawab, apakah Humaira ataukah dia.

"Kamu masih kayak anak kecil, Uf." Pak Nur tertawa renyah, diikuti bapak yang ikut bergabung ke meja makan. Malam ini pukul setengah delapan malam, membuat ibu cepat-cepat menjamu tamu penting itu.

"Papa kayak belum pernah muda, ya?" Alis Rauf terangkat beberapa kali, kemudian mereka kembali tertawa renyah. Begitupun Syifa, gadis yang beberapa jam lalu sukmanya menangis. Tampaknya, gadis itu telah melupakan duka-laranya.

Dengan cepat, Rauf menggandeng tangan Syifa dan menariknya, membuat pipi gadis itu merah merona. Inilah kali pertama tangannya disentuh oleh laki-laki selain bapak. Jantungnya kembali berdebar, dia menggelembungkan pipi beberapa kali untuk meminimalisir rasa groginya.

"Bu, Rauf mau pinjem Syifa sebentar, ya," ucap Rauf sembari menarik Syifa keluar. Ketua karang taruna itu melengos menatap mereka, kemudian Pak Nur kembali tertawa renyah. Kadang, sisi dewasa Rauf bisa hilang di saat dia sedang jatuh cinta dengan sesuatu.

Mungkin ... Rauf sudah mencintai Syifa. Hati lelaki tua itu sekarang telah tentram.

Angin malam berembus, gamis yang dipakai Syifa berkibar, begitupun dengan jilbabnya yang bewarna senada karena terkena terpaan angin. Daun-daun ikut menari mengikuti irama sang angin, bersamaan dengan hawa dingin yang mencekam mereka berdua.

Sang Bidadari Bumi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang