Langit tak lagi bersua dengan senja. Sebaliknya, matahari merekah dengan arogan menampakkan eksistensinua sedikit demi sedikit. Sinarnya mengenai pipi Syifa saat gadis itu tengah membawa beberapa tas berisi baju untuk dimasukkan ke bagasi.
Tak lama, datanglah Rauf yang juga membawa koper berisi berbagai barang Syifa. Mulai dari guling sampai boneka. Konon, Syifa tidak bisa tidur tanpa kedua barang kesayangannya itu.
"Seperti mau pindahan saja, tho, Nduk." Ibu menatap Syifa dengan matanya sedikit memincing karena terkena silauan matahari. Syifa hanya tersenyum.
Sebenarnya, tidak semua barang yang dibawa, hanya barang-barang yang memang mungkin akan dia butuhkan di sana. Selain baju-baju yang pasti.
Rauf dengan cekatan membantu Syifa memasukkannya ke bagasi. Saat dirasa semuanya sudah beres, akhirnya Syifa dan Rauf berpamitan pada Ibu dan Bapak.
"Nanti kalau ada waktu yang senggang, Insyaaah nanti Syifa mampir, Pak, Bu."
Mereka melepas kepergian putrinya dengan senyum. "Sebentar lagi rumah kita sepi, Pak. Anak kita hidup ikut wong semua." Mata kedua orang tua itu tak berhenti menatap mobil yang melesat ke jalan itu sampai benar-benar hilang bak ditelan bumi.
Di mobil, Syifa menatap hamparan sawah yang begitu luas. Dia melewati jalan yang dulu tempat bertemu dengan mertuanya, sedikit melambai ketika melihat sang montir saat itu.
Dia tersenyum. Bagaimana rasa ini bisa bermula? Dulu, dia gadis yang berusaha mati-matian mencari pekerjaaan, sekarang dia yang harus rela melepaskan lowongan pekerjaan itu setelah menikah dengan Rauf.
Detik berikutnya dia menatap Rauf yang masih sibuk mengendarai mobil. Gadis itu tidak tahu bahwa pikiran Rauf tengah kalut. Dia hanya melihat wajah Rauf dengan rahang yang tegas menatap jalanan lurus.
"Mas, boleh kupanggil Mas Atha?" tanya Syifa.
Rauf menatapnya beberapa detik sebelum kemudian kembali menatap jalanan yang hari ini begitu ramai. "Tentu."
Senyum Syifa mengembang, dia menatap paras suaminya yang semakin hari semakin tampan. Apalagi bila terkena kilatan matahari yang dipantulkan dari kendaraan yang berlalu lalang. Sungguh, baru kali ini aku merasa bisa sejatuh-jatuhnya cinta kepada seorang manusia.
Pohon-pohon terlewati, dedaunan dan tanaman hijau telah tiada. Tak terasa mereka sampai di jantung kota. Itu tandanya jika rumah yang menjadi tujuan mereka semakin dekat.
Di mobil tidak banyak percakapan yang berarti, mereka berdua sibuk dengan aktivitas masing-masing. Rauf yang menyetir, dengan Syifa yang bermain ponsel.
"Jadi kamu lebih memilih ponsel dari pada aku, ya," kata Rauf dengan wajah yang agak dibuat kesal.
Syifa menjulurkan lidah, dia menatap Rauf kemudian tersenyum. "Lebih menarik ponsel sih dari pada kamu."
"Apa menariknya ponsel?"
"Banyak cowok-cowok ganteng di sini, apalagi oppa-oppa kayak di drama Korea." Syifa kembali memainkan ponselnya, jemari lentiknya menggeser layar beberapa kali.
"Kenapa kamu mencari cowok-cowok di sana? Halu tau. Mengapa memilih halu dari pada yang nyata? Padahal, cowok di sampingmu ini lebih ganteng dari mereka." Rauf menyengir, kemudian salah satu alisnya naik-turun, menggoda Syifa.
Sedangkan Syifa, ber-hu ria, menyoraki sang suami yang mengaku sebagai lelaki tampan. "Siapa yang bilang tampan?"
"Papaku. Lagi pun, kalau aku tidak tampan kenapa kamu mau menikah denganku?" Dia kembali menampakkan seringai kemenangannya, membuat Syifa semakin gemas dibuatnya.
"Aku menikah dengan seseorang bukan karena tampan, kok."
"Tapi karena?" tanya Rauf. Dia masih sibuk mengendarai mobil, Syifa hanya tersenyum kemudian memandang pinggiran jalan yang dipenuhi dengan rumah-rumah tanpa pelataran.
"Yah, adalah. Kepo. Rupa manusia kadang kala memang tidak harus untuk segalanya, apalagi soal cinta."
Lima menit kemudian, mobil yang mereka kendarai telah sampai di depan rumah Rauf. Pak Nur tidak menyambut, beliau masih sibuk di perusahaannya di jam-jam sepagi ini.
Rumah sebesar iti tidak ada orang. Hanya ada Rauf dan Pak Nur yang menempati. Kadang kalau rumah terlihat kotor, kalau Pak Nur sempat, pasti Pak Nur yang membersihkan. Lelaki tua itu tidak selemah seperti yang dilihat di fisik.
"Jangan menghilang di sini, ya?" Rauf mengusap jilbab Syifa lembut. Gadis itu mengerucutkan bibir.
"Kenapa kalau menghilang? Ini kan rumahmu, pasti mudah mencariku."
"Aku lebih memilih mencari tahu bagaimana cara membahagiakanmu dari pada mencarimu."
Syifa tertawa, memukul kecil bahu Rauf. "Apa gunanya mencari tahu cara untuk membahagiakanku jika orang yang ingin kamu bahagiakan hilang?"
"Nggak nyambung, kan? Iya emang."---Rauf menggaruk tengkuknya---"maka dari itu, jangan menghilang dari hadapanku. Mencarimu memang sulit, tetapi lebih sulit mencari cara untuk membahagiakanmu. Maka dari itu, aku lebih memproritaskannya. Jika aku bisa menemukan cara itu, maka aku akan mencarimu. Tapi sebaliknya, buat apa kamu sudah ada di depanku jika aku tidak bisa membuatmu bahagia? Bukannya itu sia-sia saja?"
"Membuatku bahagia tidak sesusah itu, Mas." Dia menepuk pipi Rauf pelan. Matanya menatap manik mata Rauf yang juga balas menatapnya.
"Melihatmu mencurahkan cinta untukku saja, sudah cukup."
Syifa tersenyum, kemudian menenggelamkan diri di pelukan Rauf. Sedang Rauf?
Sampai kapan dia akan berpura-pura mencintai gadis sampai membuat gadis itu jatuh cinta kepadanya?
Tiba-tiba ponsel Syifa berdering, membuat pelukan singkat itu usai. Rauf tersenyum menatap Syifa.
Yang menyedihkan sekarang adalah, setiap dia menatap Syifa dia seperti melihat Humaira. Hanya Humaira yang berada di benaknya.
Ya Allah, Fa ... maafkan aku.
"Mas Atha?" panggil Syifa saat melihat Rauf melamun. Sesegera mungkin Rauf menatap Syifa dengan ekspresi canggung.
"Jangan suka melamun, tidak baik." Rauf hanya tersenyum.
"Ngomong-ngomong, kalau mau memanggilku dengan sebutan Atha, di rumah saja, ya?"
"Kenapa?"
Rauf menyengir. "Nanti malah aku dikira Atta yutuber di Gen Halilintar itu." Keduanya tertawa, Rauf sempat menatap tawa Syifa yang renyah.
Keduanya masuk ke kamar, Syifa mengempaskan tubuh ke ranjang Rauf.
"Belum pernah tidur di spring bed, ya?"
Syifa bersikap seolah bodo amat dengan segala ocehan Rauf. Apalagi saat Rauf membuka jendela kamarnya dan semilir angin menerbangkan jilbabnya.
"Dulu, saat pertama kali aku melihatmu, kukira kamu tipikal lelaki yang irit omong. Ternyata ...." Syifa cekikikan di ranjang Rauf.
"Jangan melihat watak seseorang dari penampilan, ya."
Gadis itu pura-pura menutup kuping dengan tangan, kemudian menenggelamkan diri di selimut. Hatinya bahagia ... benar-benar bahagia bisa bercanda sejauh ini dengan suaminya.
Tiba-tiba, pertanyaan Rauf membuatnya sedikit tersentak. "Kamu tidur di kamar sini saja, ya. Biar aku yang tidur di kamar sebelah."
Bukankah kita ini sudah menikah?
NB: Percayalah, kawan. Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit. Hehehe.
Salatiga, 5 Desember 2019
Alifah Fitry
![](https://img.wattpad.com/cover/199671149-288-k708341.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Bidadari Bumi [END]
SpiritualAn amazing cover by. @Es_Pucil Menikah tanpa dasar cinta, apakah bisa? Takdir seakan tengah menguji Syifa saat seorang pria paruh baya melamarkan anaknya, Rauf. Pernikahan yang dia dambakan seperti romantisme kisah Humaira bersama Rasulullah adalah...