Tiga Puluh Tiga

8.7K 490 12
                                    

"Apa yang sedang kamu lakukan?"

Syifa memutar badan untuk mencari sang sumber suara. Rauf menatapnya sedetik, kemudian menghela napas.

"Aku sedang memasak. Apa kamu tidak melihatnya?"

Kaki-kakinya melangkah lebar mendekati sang istri. Dilihatnya mata sang istri kemudian mengulum senyum manis.

"Aku melihatnya."

"Apa?" tanya Syifa keheranan. Melihatnya memasak? Dia tidak perlu berbicara seperti itu, kan?

"Aku melihat masa depan di matamu. Manik mata hitammu telah mengajakku berbicara jika denganmu hidupku akan lebih bewarna."

Syifa tersenyum lembut. Entah sejak kapan Rauf menjadi sebucin ini. Namun yang pasti, dia sangat menikmatinya. Di hari-harinya belakangan tidak ada lagi Rauf yang dingin kepadanya, yang bahkan untuk menatapnya saja enggan. Kini hanyalah Rauf yang sangat manis, bermanja-manja bersamanya dan selalu mengulum senyum saat menatapnya.

"Kamu tahu tidak ada bidadari di muka bumi ini?" Dahi Syifa mengernyit, maksudnya apa?

"Apakah ada? Bukankah bidadari hanya ada di surga?"

"Aku baru saja menemuinya, bercakap dengannya dan menciumnya."

Dengan tatapan curiga, dia bertanya, "Siapa? Siapa gadis yang bisa membuatmu menganggapnya sebagai bidadari? Secantik apakah dia? Apa dia baik juga?"

"Cantik sekali. Sangat baik. Selalu tegar saat mendapatkan musibah, menahan diri agar tidak terlalu larut dalam emosi."

Syifa tersenyum kecut. "Anakah?"

"Bukan, tapi bidadari bumi itu adalah Syifa. Wanita yang saat ini berdiri di depanku, istri yang kutatap matanya dengan penuh cinta. Bidadariku di alam semesta."

Syifa mengulum senyum. Percakapan mereka semakin ke sini semakin romantis, dia sangat menyukai hal itu.

"Kalau aku jadi bidadari bumi, kamu jadi apa?"

"Pangeran yang akan menjemputmu menuju kebahagiaan."

Ciee. Rauf kelewat alay setelah menikah dengan Syifa.

Tangan kekarnya menyentuh jemari Syifa, dia mengangkat tangan istrinya dan mencium dengan lembut. "Kamu jangan memasak dulu, nanti bayi kita kecapekan."

Wajah Syifa mendadak cemberut. "Jadi kamu lebih mementingkan bayi daripada aku?" Bibirnya mengerucut beberapa senti.

"Iya."

"Ya sudah aku mau cari suami baru."

"Aku juga mau cari istri baru."

"Cari di mana?"

"Supermarket terdekat. Ada kok calon istri. Tinggal beli saja di sana."

"Aku juga mau beli suami lewat online."

Pipi Syifa bersemu merah tatkala Rauf membelai jilbab marunnya.

"Kalau kamu mau cari suami lagi, tidak akan mendapat paket komplit sepertiku. Lihatlah aku. Sudah ganteng, baik, kaya, pintar masak lagi."

Mereka melirik ke meja makan. Ternyata sejak selepas subuh tadi Rauf sudah memasak.

Mereka berjalan dengan bergandengan tangan menuju ruang makan. Seperti orang pacaran yang terikat janji suci dan telah dihalalkan.

"Kamu memasak ini semua?" Rauf mengangguk. Dia melirik arlojinya yang menunjukkan pukul tujuh pagi. Satu jam lagi dia akan berangkat ke kantor dengan papa. Minggu lalu dia telah diangkat menjadi pewaris perusahaan milik Pak Nur.

Tak lama Pak Nur datang dengan pakaian yang sudah rapi. Kemeja putih dengan jas dan celana bewarna hitam. Dia duduk untuk mulai memakan.

"Nduk, pagi-pagi begini kok sudah memasak? Kenapa tidak beli saja to? Kamu itu harus mengurangi kegiatan agar bayimu sehat."

"Tapi ini yang masak bukan Syifa, Pa," protes Rauf. Enak saja dia sudah mati-matian memasak dari bada Subuh sampai jam tujuh pagi tapi yang diakui malah orang lain.

"Siapa? Kamu?" Rauf mengangguk, sedangkan Syifa tersenyum.

Lalu Pak Nur buru-buru pergi saat ponsel pintarnya mengeluarkan notifikasi.

"Papa berangkat dulu, Uf, Nduk Syifa." Mereka berdua mengangguk. Rauf duduk menyangga kepala dengan tangan kanan. Wajahnya tertekuk.

"Kenapa, Mas?"

"Papa belum pernah merasakan masakanku." Wajahnya melas, seperti sudah sia-sia dia memasak sejak Subuh tadi.

"Aku akan memakannya." Hibur Syifa. Mata Rauf berbinar.

"Bagaimana rasanya?"

"Eh? Enak."

Ya Allah... asin sekali, Ya Allah... batin Syifa dalam hati.

Dia ingin mengatakan jujur jika ini sangat asin, tapi tidak tega melihat wajah Rauf yang berbinar. Maafkan hamba-Mu yang berbohong ini, Ya Allah. Aamiin.

***

"Uf," tanya seseorang yang duduk tak jauh dari dia. Rauf menoleh. Lelaki bertubuh gempal dengan rambut bermodel cepak tengah menghampirinya.

"Eh, iya." Rauf melambaikan tangan. Dia sedikit melonggarkan dasi saat lelaki itu duduk di kursi depannya.

"Kamu sudah menjadi bos, ya?" Rauf tertawa renyah. Itu tidak sama sekali, dia hanyalah calon pengurus di sini.

Pandangan lelaki itu menatap ke penjuru ruangan milik Rauf. Dia terkagum-kagum.

"Aku datang ke sini ingin menawarkan sesuatu kepadamu."

Dahinya mengernyit saat teman lamanya berbisik kepadanya. Lelaki itu melambai, menandakan bahwa Rauf harus mendekat. Dia pun memajukan diri.

"Kamu kan sudah sukses seperti ini, apa tidak bosan hanya dengan satu wanita saja? Ayolah sekali-kali main wanita. Aku punya rekomendasi tempat yang menjual pelacur dengan harga yang murah."

Rauf menggeleng. Tidak, tidak akan. Dia tidak akan menduakan Syifa begitu saja.

"Apa kamu sudah cukup hanya dengan satu wanita saja? Di mana-mana pasti lelaki tidak hanya butuh satu." Alisnya naik turun menggoda Rauf. Lelaki itu menunduk.

Sebuah foto wanita tanpa busana diletakkan di meja Rauf.

"Bagaimana? Apa kamu masih tidak tertarik?" Dia menyeringai penuh kemenangan.







Saya males nulis :(


Salatiga, 22 Mei 2020
Alifah Fitry
12.51

Sang Bidadari Bumi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang