Dua Puluh

9K 633 21
                                    

Bukankah cinta itu semacam obat bius yang mampu membuat kita terlena?

Hujan mengguyur, tetapi surya masih nampak. Turunnya sedikit demi sedikit, tetapi telaten mengguyur bumi, bahkan nyaris bisa dikatakan bukan hujan.

Aspal sana-sini becek, tempiasan air yang jatuh masih mengisi kekosongan atmosfer. Seorang wanita tengah melamun, berdiri di depan pintu masuk sambil pikirannya menerawang jauh-jauh apa yang akan terjadi setelah ini.

"Mbak, kita sudah bukan siapa-siapa kok, Mas Rauf itu cuma massa lalunya Ana." Gadis di belakangnya membujuk, wajahnya sedikit tak enak memandang wanita yang dibujuknya.

"Mbak tahu, kok, Dik. Mbak nggak papa. Mbak tahu kamu bukan orang yang kayak gitu." Atmosfer di sekeliling mereka kembali hening, suara air hujan yang jatuh bertalu-talu mengisi indera pendengaran mereka. Sesekali, semerbak bau tanah basah akibat hujan memaksa dua perempuan itu mencium dan merasakan betapa sejuknya udara pagi itu.

Tak mengelak, hati Syifa seperti lebam membiru. Bagaimana tidak? Wanita yang dibencinya, wanita yang selalu membuat perseteruan di antara dia dan Rauf adalah adiknya sendiri. Mengapa dunia sekejam ini? Walaupun berulang kali Ana minta maaf, tapi hatinya masih terbekas rasa sakit. Adik yang sejak kecil bersamanya, bahkan dia harus rela banting tulang untuk menguliahkan adiknya ternyata adalah wanita yang setiap saat ada dalam doa Rauf.

Ya... sebenarnya kebenaran ini sangat pahit. Hari-hari lalu walaupun Rauf sudah mulai hangat kepadanya, dia masih ingat persis jika nama adiknyalah yang senantiasa terucap di bibir suaminya. Bibir merah ranum itu selalu bergetar, memanjatkan doa agar nanti bisa dijodohkan dengan Ana. Seharusnya dari awal aku memang harus sadar diri jika hadirku hanya seperti benalu yang membabat habis kebahagiaan seseorang.

Namun, dia mencoba melupakannya. Dengan berpedoman bahwa mereka adalah sepasang suami istri cukup membuatnya sedikit lega. Tanpa tahu bahwa setiap pernikahan kadang ada ujungnya. Ya... ujung itu tak selamanya bahagia, tak selamanya memiliki waktu yang panjang. Dalam artian, Rauf bisa saja mentalak dirinya.

Kini langit berubah lebih pekat, awan lebih mendung dan bewarna abu-abu dari sebelumnya, membuat matahari tak lagi tampak. Syifa menatap ke atas, melihat bulir-bulir air yang jatuh begitu saja membasuh tanah. Refleks tangannya menengadah, membendung beberapa tetes air hujan di kedua tangannya. Rasanya sedikit nyaman saat bersentuhan dengan tempiasan air itu.

"Fa?" panggil Rauf. Pemuda itu menatap punggung Syifa, kemudian beralih menatap Ana. Beberapa detik, pandangan mereka bertemu. Jika saja Ana tidak mengakhiri kontak mata itu, sudah pasti mungkin mereka akan ketahuan Syifa.

Syifa tersenyum, kemudian menatap tanah yang tadi mereka bersihkan. Sejam lalu tertawa, tetapi dua jam kemudian berteman lara. Kadang memang seperti itu, suasana hati memang susah diprediksi.

Yang mulanya hati berbunga-bunga kini berubah menjadi sendu. Pilu sekali hatinya. Hanya menatap hujanlah dirinya sedikit bisa melupakan masalahnya.

"Fa?" Tiba-tiba pelukan dari belakang memecahkan lamunannya. Tangan kekar itu dengan manja melingkar di perut Syifa.

"Kenapa?"

"Bukannya Ana sudah bilang kalau kami sudah tak punya hubungan apa-apa? Lagian, memang dari dulu kita tidak pacaran kok. Ya aku tahu kamu berhak cemburu, tapi percaya saja kalau aku tidak akan ninggalin kamu. Bukannya hubungan itu kalau mau harmonis harus dilandasi rasa saling percaya?"

Syifa menghela napas, melepaskan pelukan suaminya kemudian membalik badan. "Siapa yang tidak percaya? Aku percaya kalian." Dia kembali tersenyum, menatap bola mata hitam legam suaminya yang begitu memesona, sangat sejuk bila dipandang.

"Aku hanya sedikit syok, tapi bisa baikan lagi mungkin beberapa jam lagi. Hanya butuh waktu sendiri, oke?" Dia menatap Rauf dan adiknya bergantian. Melihat itu, dengan segera Ana undur diri. Menyisakan Rauf dan Syifa di depan rumah.

Hujan belum berhenti, mata Syifa terlihat sayu jika dilihat. Rasanya dia ingin sekali menyerah. Mungkin jika gadis lain yang menjadi tambatan hati Rauf dia bisa memperjuangkan. Lalu jika gadis itu adiknya, dia harus bagaimana?

"Fa...," lirih Rauf di telinga Syifa. Mereka berdua berpelukan, mata Syifa sedikit berkaca. Nyatanya, momen-momen seperti ini memang membuatnya ingin meneteskan air mata.

"Mas, kamu tau nama yang ingin kupanggil untukmu siapa?" Tanpa menunggu jawaban dari Rauf, Syifa melanjutkan, "Mas Atha."

Rauf sedikit terkejut, kemudian kepala Syifa menyandar ke bahunya. "Banyak sekali persamaan antara aku dengan Ana, Mas. Termasuk mencintai dan memanggil seseorang yang dicintai."

Syifa tersenyum, dia merasakan dadanya sesak saat mengucap sepatah demi patah kata itu yang keluar dari mulutnya sendiri. Tak ayal, ditambah dinginnya hujan membuat tubuhnya sedikit menghangat. Dadanya semakin sesak, napasnya tersengal, air matanya berjatuhan.

Dia sudah tidak bisa menahan tangisnya.

"Fa? Hei, lihatlah aku," kata Rauf sambil melepaskapln pelukan. Dia meraih kedua pipi Syifa, kemudian menatap bola matanya dalam-dalam. Mata istrinya yang bewarna cokelat menawan, membuat dadanya ikut sesak. Merasakan kepedihan istrinya yang teramat dalam.

"Dengarkan aku, Sayang. Aku dan kamu tidak akan berpisah, oke? Aku benar-benar mencintaimu." Rauf mengangguk, mencoba mengiyakan Syifa. Sedang gadis itu berbanding terbalik, dia malah tersenyum menyembunyikan luka sembari menggeleng lembut.

"Mengapa kamu membohongi hatimu sendiri, Mas? Bukankah keinginanmu adalah menikah dengan Ana, bukan aku? Bukankah selama ini kamu... terpaksa mencintaiku?"

Diam.

Napas Syifa tersengal, dia menangis sembari menatap mata Rauf, begitupun sebaliknya. Rauf juga menatap matanya.

Tiba-tiba suara klakson mobil menyambar, dengan segera Syifa menghapus air matanya. Rauf juga melepaskan pandangannya dari wajah Syifa.

Seorang pria paruh baya turun dari mobil, membawa jas dan celana senada. Diikuti dengan sepatu pantofel yang kini tengah beradu dengan tanah. Pria paruh baya itu sama sekali merasa tidak sebal saat rombongan air hujan mengguyur jasnya. Bunyi keciprat air yang ditimbulkan oleh pria itu pun memiliki pola.

"Aduh, lama sekali papa tidak hujan-hujanan," kata pria paruh baya itu kepada keduanya, dia tersenyum. "Loh, Syifa kenapa?"

"Tadi habis mengupas bawang merah banyak, Pa. Matanya jadi sedikit berair, ya sudah Syifa ke sini minta bantuan Mas Rauf."

Pak Nur mengangguk, kemudian pamit untuk masuk ke rumah terlebih dahulu.

"Mas?" Rauf yang tadi ingin mengikuti jejak papanya pun tertahan, menatap mata Syifa yang lembab.

"Kalau memang harus ditalak, Insyaallah Syifa sudah siap."








Hai, maaf, ya, baru update. Saya disibukkan TO dan bentar lagi ujian, jadi semoga Kawan-kawan mengerti kesibukan saya sehingga tidak bisa melanjutkan cerita ini. Terima kasih untuk yang setia menunggu.

Maaf kalau mengecewakan :(


Salam,
Alifah Fitry
2 Februari 2020

Sang Bidadari Bumi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang