Tiga Puluh

9K 581 15
                                    

Kamu mengajariku cinta melalui serangkaian kata yang kaya akan makna. Kamu pula yang mengajariku bahwa patah hati benar-benar sakit rasanya.


Jawaban itu....

Rauf belum menjawab pertanyaan Ana. Mata gadis itu masih sayu menatap Rauf, sedang yang ditatap malah melihat lurus ke depan. Ilalang telah tumbuh di sana. Syifa bahkan tidak bisa menebak apa yang akan menjadi jawaban Rauf, suaminya.

Rembulan di malam yang temaram. Menerangi percakapan mereka berdua, membuat hati Syifa seperti diremas-remas. Wajahnya sempat menengadah ke bulan. Membuat air matanya mengalir melewati pipi.

Dia seperti berjalan di antara kebun yang penuh dengan duri. Berkali-kali tertusuk, perih sekali rasanya. Namun, dia juga tidak bisa berhenti untuk berjalan melewatinya.

Pekatnya malam dengan semilir angin yang merasuk sampai ke dada sesaknya. Gadis itu menangis dalam hati, jemarinya meremas kuat-kuat gamis yang dipakai.

Apa artinya semua ini?

Mengapa dunia sedetik saja tak pernah berpihak kepadaku? Apakah semesta akan membiarkan seorang gadis sepertiku patah hati menangisi cinta? Hei, mengapa cinta begitu menyesakkan dada?

Perempuan itu mengusap pipi beberapa kali, kemudian tangannya beralih meremas kuat-kuat gamis. Dia berharap dengan meremas jari sakit hatinya bisa sedikit mereda.

"Apakah kamu menyukaiku?" ulang Ana.

Sesak sekali dada Syifa. Selama ini dia mengira jika adiknya sudah melupakan suaminya. Nyatanya, Ana masih meminta penjelasan tentang bagaimana rasa Rauf kepadanya. Jika Rauf berkata iya, bagaimana kisah romantis mereka kemarin? Padahal dia baru saja merasakan curahan cinta Rauf, mengapa cobaan datang begitu saja?

Bagaimana jika Rauf masih mencintai Ana?

Ya Allah... katanya melirih dalam hati. Dadanya sesak tiada terkira, apalagi saat melihat Rauf yang kini beralih menatap wajah Ana di bawah sinar rembulan yang remang-remang.

Apa yang akan dikatakan Rauf? Dadanya bergetar hebat. Tangan kanannya memegang dada karena debarannya yang begitu kuat, sedang tangan kirinya berusaha menyeka air mata. Mata Syifa meredup.

Rauf tersenyum ke arah Ana, dia menatap wajah Ana yang bersinar di bawah rembulan malam. Syifa termangu. Senyum itu... senyum penuh cinta.

Ya Allah... mengapa hatiku sesakit ini? Mengapa harus aku yang menerima semua ini? Mengapa, Ya Allah?

Matanya kian berat. Dia tak akan mendengar jawaban Rauf. Dia lebih baik pergi dari sana dan—

"Ya, aku menyukaimu."

DEG!

Langkah kakinya terhenti beberapa detik. Saat itu rasanya badannya ngilu semua. Dadanya hancur seperti dipukul palu hingga remuk. Apa yang dia takutkan akhirnya terjadi.

Dengan berjalan tergesa dia ke kamar, menghapus air mata agar tidak terlalu kentara. Di sana masih ada tiga lelaki itu, untung saja tidak melihat wajahnya yang barusan menangis.

Saat sampai di kamar dia menutup pintu. Menghela napas pelan. Dadanya benar-benar bergemuruh.

Dia kembali menengadah saat kemudian pintu diketuk pelan. Rauf datang dengan senyum manis. Yang barangkali senyuman palsu.

Sang Bidadari Bumi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang