Dua Puluh Lima

8.7K 548 3
                                    

18++
Bijak dalam membaca. Jangan lupa tinggalkan vote, komentarnya. Tambahkan ke perpus, dan follow saya jika ingin tahu update-update cerita ini ^^

"Apa aku harus persiapan agar badanku tidak pegal seperti ini?" Rauf sedikit mengerang saat Syifa memijitinya.

Sinar surya menerpa, sampai melewati celah-celah jendela. Gadis itu sedikit menguap, tapi masih memijit suaminya yang hampir tidur beberapa kali.

"Kalau mau tidur ya silakan tidur, Mas. Nanti Syifa bangunin." Wanita itu melirik jam yang berada di dinding. Pukul enam pagi, masih ada dua jam untuk Rauf beristirahat. Pukul delapan nanti dia sudah harus ikut bersama Pak Nur untuk mengadakan rapat di perusahaannya. Sebentar lagi jabatan Pak Nur sebagai CEO akan digantikan oleh Rauf, anaknya. Maka sebelum itu, Rauf harus memperkenalkan diri di muka umum dan mulai mempresentasikan dirinya di depan karyawan.

Rauf menggeleng, pipinya yang terkena semburat matahari sedikit menghangat. Lelaki itu mengerucutkan bibir, menyandarkan kepala ke bahu Syifa manja. "Tidak mau, aku tdak mau di sini sendiri. Aku butuh teman."

Tadi selepas Subuh, Rauf menceritakan kebenarannya kepada Pak Nur. Dia akan mempertahankan Syifa, dan melepas Ana. Memang sedikit susah baginya, tapi setelah ditimang lama-lama dan mengingat Ana sudah mempunyai calon, dia memang harus mempertahankan Syifa.

Lagi pula, sepertinya cinta itu mulai tumbuh di dadanya. Ya... cinta kepada gadis manis yang tingkahnya dibilang sudah dewasa, cocok sekali sebagai seorang istri padahal umurnya masih belia. Hari ini pun, Ana pamit pulang. Sekitar pukul satu siang, dia akan kembali ke rumah untuk mengabarkan berita.

Walaupun sedikit kecewa, tapi saat melihat mereka berdua sudah baikan sungguh membuat dadanya tentram. Beban di badannya seakan berkurang beberapa kilo.

"Hm... kenapa sekarang kamu manja, Mas? Aku ingin membuatkan sarapan untuk papa dan kamu. Tidurlah dulu saja, nanti Syifa bangunkan."

Lagi-lagi Rauf meggeleng, dia manyun beberapa senti. "Kamu tidak cemas, nanti kalau aku diculik bagaimana?" tanyanya manja, mata lelaki itu sengaja dikedipkan membuat Syifa tertawa renyah.

"Siapa yang akan menculikmu, Mas? Toh, apa untungnya menculikmu? Habisin makan baru iya." Tawa gadis itu terhenti saat tiba-tiba tubuhnya ditarik paksa ke ranjang.

"Apa kamu tidak tahu?"

Syifa menelan susah saliva, dia menatap mata Rauf yang hitam legam, tetapi sangat memesona. Dapat dilihat dirinya sendiri lewat pantulan kelopak mata Rauf. Pipinya memerah saat sedikit demi sedikit lelaki itu mendekatinya. Terlebih saat embusan napas Rauf sudah dapat dirasakan Syifa.

"Ta-tahu apa?" jawab Syifa patah-patah.

"Kalau aku lagi memajukan bibir berarti aku minta dicium," bisik Rauf di telinga Syifa. Gadis itu hendak mengelak tetapi perbedaan kekuatan antara keduanya sangat jauh, dia tidak bisa mengimbangi Rauf.

"Eh? Itu pintunya belum di---"

"Iya, Sayang. Aku sudah menguncinya. Jangan terlalu cemas dengan hal-hal semacam itu, ya."

Pipi Syifa memerah, dia tidak bisa apa-apa. Rauf menguncinya!

***

"Bangun, Mas." Jemari lembut Syifa membelai rambut Rauf, dia sejak tadi belum bergerak, masih bermain di alam bawah sadarnya. Kadang, tersenyum. Mungkin sedang memimpikan sesuatu yang membuatnya mampu tersenyum.

Tak sengaja, Syifa mendekat. Melihat bibir Rauf yang memerah, dia memegangnya. Jari telunjuknya mengikuti bibir merah Rauf. Wanita itu tersenyum, melihat takdir yang memihak kepadanya. Hampir saja dia suuzan kepada Allah. Astagfirullah....

Belum sempat dia bisa bangkit, Rauf tiba-tiba menariknya. Sepersekian detik, Syifa sudah berada di pelukan Rauf.

"Mas, aku tidak bisa bernapas."

"Ah, masak? Bukankah aku adalah oksigenmu?" canda Rauf, dia tertawa renyah. Apalagi saat kepala wanitanya ada di dadanya, jemarinya langsung mengusap rambut Syifa.

"Ah, kamu bau belum mandi." Syifa mencoba melepaskan, tetapi gagal.

"Pagi tadi kan mandi sama kamu. Lupa, ya?"

Pipi Syifa merah merona, berkali-kali dia menggigit bibir bawahnya. Berada di pelukan Rauf sangat nyaman, membuatnya ingin selalu berada di posisi itu. Belum lagi suhu tubuh di dada bidang Rauf, sangat membuat candu.

"Fa?" tanya Rauf. Matanya membelalak sempurna. "Fa, kamu tidak tidur, kan, Sayang?"

Tidak ada jawaban, napas Syifa beraturan. Rauf tersenyum, menatap Syifa saat tidur sungguh menjadi pemandangan yang luar biasa. Istrinya itu imut luar biasa saat dalam mode tidur.

Perlahan dia mengangkat pelan kepala Syifa, dia letakkan di bantal. Senyaman mungkin posisinya. Kemudian, menatap jam dinding.

"APA?! JAM SEMBILAN?" Matanya memelotot tak percaya. Dia pasti sudah telat. Telat satu jam. Dan papanya pasti tidak akan menoleransi ini. Pak Nur adalah orang yang sangat disiplin.

Secepat kilat dia mengambil kemeja, sepatu, ganti baju. Dia bahkan membayangkan hukuman apa yang akan diterimanya?

Terakhir kali dia mendapat hukuman dari Pak Nur adalah saat masih SMP. Saat itu, Rauf tak mendapatkan nilai yang memuaskan, maka oleh Pak Nur Rauf disuruh meminta tanda tangan kepada semua guru di sekolah dan meminta maaf.

Sungguh, kejadian yang tidak akan pernah dia lupa.

Saat sudah hampir di garasi, dia tambah dikagetkan dengan mobil yang sudah tidak ada. Iti tandanya, dia benar-benar dalam masalah yang besar. Bagaimana jika Pak Nur menyuruh dia meminta tanda tangan seluruh karyawan perusahaannya?

Laki-laki itu menggeleng, dia telah membayangkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi.

Sekarang dia harus bagaimana?

Di tengah kepanikan itu, tak sengaja Ana lewat. "Kak, kenapa?"

"Apa papa sudah berangkat?" Ana mengangguk. "Pak Nur tadi sudah membangunkanmu, tetapi kamar kalian berdua dikunci." Ana mengangkat bahu seolah tidak tahu.

Dia harus bagaimana?

Ah, ini gara-gara di Syifa, kesalnya dalam hati. Dari kamar, Syifa cekikikan tanpa henti.

"Siapa suruh tadi ada adegan peluk-pelukan segala. Sok romantis," katanya penuh kemenangan.




NB: maaf kalau chapter ini terlihat memaksakan :( maafkan saya. Semoga tidak terlalu mengecewakan. Saya nulis ini ngebut satu jam :")



Salatiga, 26 Maret 2020
Alifah Fitry
00.57 am

Sang Bidadari Bumi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang