Dua Puluh Satu

8.6K 622 7
                                    

Assalamualaikum! Akhirnya saya berhasil nulis satu chapter ini di sela-sela ujian, ehehe. FYI selama ini (kurang lebih 1 bulan) saya tidak menulis karena sibuk TO, dan maaf bagi yang sudah menunggu kemudian kecewa dengan part ini yang begitu mengecewakan. Maaf sekali 🐥
Oh iya, bagi pembaca yang menemukan kesalahan penulisan nama atau etc. itu tolong beri tahu, ya. Saya lama tidak menulis jadi lupa sama nama karakter sendiri 😭/tampol pake golok.

Jangan lupa... vote, komen, dan share ke temen-temen lain. Beri saya semangat untuk update next part, ya! Kalau mau dapet spoiler atau informasi dari cerita ini silakan follow saya. Sekian ^^

¤¤¤

Andai mencintai tak ada kata menyakitan. Berapa kali pun hatiku tersakiti, hati ini akan tetap berdiri kukuh untuk berjuang.

Andai dalam mencintai tidak ada kamus 'cinta satu sisi'. Mungkin semua kisah cinta akan berakhir bahagia.

Andai mencintai tak sesakit ini, aku akan terus berjuang.

Tak peduli batu karang menghadang, ombak berdebur, aku akan tetap berdiri.

Tapi...

Sekarang aku tahu. Dalam hidup sesekali memang tidak harus selalu berjuang.

Tak selamanya aku bisa memecahkan batu karang, tak selamanya aku bisa bertahan dari deburan ombak.

Ya... sekarang aku memahaminya. Cinta itu sulit.
Hidup itu ada kalanya tak harus berjuang.

Ya... dunia memang sekejam ini.

.
.
.

Andai aku tak mengharapkannya... mungkin aku tidak akan sesakit ini.


Suara jangkrik nyaring memekakkan telinga, beberapa ekor cicak tak sengaja melintasi pekarangan rumah yang tanahnya sudah lembab terkena tempiasan air hujan sejak pagi. Musim hujan telah tiba, pekarangan rumah sedikit becek. Guyuran hujan hari ini tidak sesingkat seperti biasanya, kali ini lebih lama.

Malam pun telah hadir, ditandai dengan Matahari yang kian tidak ada keberadaannya. Sepoi angin meniup ilalang yang berada di luar pagar rumah mewah itu.

Dengan bersinar semburat dewi malam, Ana sesegera mungkin melangkahkan kaki hendak pulang menuju kosannya. Baru sampai di depan gerbang, sudah disambut oleh Rauf yang saat itu baru pulang dari bepergian.

"Mau ke mana, Ra? Eh--Ana." Rauf sedikit memicingkan mata saat terkena kendaraan yang melewati jalanan depan rumahnya. Memang tidak serame jalanan ibukota, tetapi lumayan banyak yang lewat. Apalagi di pinggir jalan selang beberapa meter pasti ada warung makan kecil, contohnya di depan sebelah kiri rumahnya ada warung nasi goreng yang tutup sampai pukul satu malam. Apalagi malam minggu seperti ini, pasti sudah banyak pemuda-pemuda yang hanya sekadar nongkrong setelah makan nasi goreng seporsi ditemani kopi.

Mata mereka berdua bertemu, kemudian Ana cepat-cepat memalingkan pandangan.

"Pulang, Kak."

"Jam segini?" tanya Rauf sambil matanya memelotot sempurna karena merasa tidak percaya. Ana hanya tersenyum, tidak menjawab.

"Kamu boleh tinggal di rumahku dulu. Kebetulan kami punya kamar kosong, atau tidur dulu sama Syifa. Ini sudah malam, Na." Kali ini, Rauf tak salah nama. Dia tidak lagi memanggil gadis di depannya dengan sebutan 'Humaira'.

Sang Bidadari Bumi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang