Sudah tiga hari sejak Syifa pergi dari rumahnya. Beberapa kali dia menelpon tetapi nomornya tidak aktif. Bahkan, dia harus mendengar omelan Papanya semalaman. Apalagi saat Pak Nur mengingatkan kembali pada janjinya tempo lalu. "Mana janjimu, Uf? Mana! Bukankah kamu dulu berkata jika menerima perjodohan ini atas dasar Allah dan menyempurnakan agama? Bukankah dulu kamu berkata jika gadis salehah saja sudah membuatmu bahagia? MANA, UF? Papa seperti gagal mendidikmu."
Pupil Rauf sedikit mengecil saat mengingat kejadian di malam Pak Nur memarahinya habis-habisan. Apakah dia terlalu keterlaluan kepada Syifa? Dari kejauhan terdengar suara sepatu yang beradu dengan keramik. "Ingat. Kamu sudah besar, sudah punya tanggungan istri. Seharusnya sudah punya rasa tanggung jawab," sindir Pak Nur. Mata tua itu menatap bola mata Rauf yang kosong. Terlalu banyak penyesalan di hatinya membuat dia tak sanggup berkata-kata dan memilih melamun.
"Sudah, papa ke kantor dulu. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," jawab Rauf. Terdengar ketukan suara sepatu lagi yang beradu dengan keramik mengisi indra pendengarnya. Dia benar-benar hampa. Entahlah, di hatinya seperti ada sesuatu yang hilang.
Apakah dia mulai menyukai gadis itu? Atau hanya sekadar simpati? Entahlah, dia pun juga tidak bisa memastikan. Namun, rasa itu cukup mematikan. Dia bingung, harus mulai dari mana? Apa yang harus dilakukan agar tidak memperkeruh suasana?
Rauf menghela napas perlahan, menatap ke luar jendela, menampakkan pohon palem yang ditanamanya beberapa tahun lalu, tak terasa sekarang sudah hampir berbuah saja. Tampak kaca jendela berembun, dengan sorotan cahaya mentari yang menyirami Bumi.
Bukankah semakin dewasa harus semakin bertanggung jawab?
Lihatlah dia sekarang, sudah berumur dua puluh empat tahun tetapi masih saja egois. Dia tak sekalipun mengesampingkan sifat egoisnya untuk merajut rumah tangga dengan Syifa. Apalagi, saat dia teringat janjinya dengan Pak Nur tempo lalu.
Menikah atas dasar Allah? Atas dasar agama? Bahkan, menyempurnakan agama? Bagaimana dia akan mempertanggungjawabkan ucapannya kelak di yaumul akhir? Bagaimana dia menyebut nama Allah, sedangkan dia tidak becus menepatinya?
Melupakan Humaira, dan mencoba mencintai gadis yang berjilbab, baik akhlaknya? Bukankah Syifa baik, berjilbab, dan cantik. Jauh di atas kriteria standar yang dia berikan? Mengapa dia begitu menyakiti gadisnya itu?
Ya Allah ... maafkan aku. Syifa, maafkan aku. Maafkan aku ... lirihnya dalam hati.
Batinnya menangis, menyadari kesalahan yang telah diperbuat. Tangannya memegang mata, takut-takut suatu saat akan keluar air yang nanti bisa jatuh ke pipinya.
Bagaimana kabar gadisnya sekarang?
Sungguh, dia rindu.
Rindu dibuatkan masakan, rindu diingatkan untuk mandi, rindu senyum hangatnya, dan mata teduhnya.
Bagaimana ini, Ya Allah?
Bergegas dia mengambil motor matic dan mencari Syifa.
Dia akan ke rumah Syifa.
***
"Mbak, apa tidak pulang saja? Ana takut nanti Mas Rauf mencari," kata Ana kemarin saat mampir ke kosan. Selama dua hari Ana bahkan selalu sempat menengoknya walaupun Syifa sudah berkata tidak usah.
Perkataan Ana itu cukup mengusik batinnya. Dia merasa sudah kelewatan seperti ini. Dia bukan istri yang baik, begitulah penilaiannya sendiri.
Bagaimana jika Ibu tahu? Menangiskah? Bagaimana jika Bapak tahu? Apakah Bapak akan merasa tidak becus membentuk karakternya? Terlebih ... bagaimana perasaan Pak Nur, mertuanya yang sangat baik hati dan hangat itu? Ah, dia telah mengecewakan banyak orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Bidadari Bumi [END]
SpiritualAn amazing cover by. @Es_Pucil Menikah tanpa dasar cinta, apakah bisa? Takdir seakan tengah menguji Syifa saat seorang pria paruh baya melamarkan anaknya, Rauf. Pernikahan yang dia dambakan seperti romantisme kisah Humaira bersama Rasulullah adalah...