"Aku mau dibuatin susu dong, Fa." Rauf yang saat itu bangun dari tidur langsung pergi ke arah Syifa yang sudah memasak. Pagi-pagi buta gadis itu sudah menyalakan kompor dan menggoreng daging, membuat Rauf mau tidak mau harus beranjak dari ranjang.
"Susu apa?" Dari dapur Syifa menjawab, berteriak-teriak tidak jelas. Aneh memang, sudah kepala dua umurnya tapi masih suka meminum susu. Namun, dia tak menghiraukannya. Gadis itu masih sibuk menggoreng, apalagi suaranya yang memekakkan telinga membuatnya sedikit waspada. Sepertinya besok dia harus memakai helm.
Tiba-tiba, tangan seseorang yang kekar bergelayut manja di lehernya. Yang tak lain adalah Rauf. Pemuda itu kemudian memeluk Syifa dari belakang. Dapat Syifa dengar dia berbisik, "Jangan takut, aku di sini menjagamu. Walaupun itu cipratan minyak goreng melukai tubuhku, akan tetap kulakukan untuk melindungimu."
"Walaupun nanti kena wajahmu sekalipun?" tanya Syifa tersenyum, tangan pemuda itu kini melingkar di perutnya yang ramping, membuat dirinya sedikit memoles senyum bahagia.
"Iya."
"Kenapa?"
Rauf melihat Syifa mengangkat daging yang sudah matang itu kemudian membalikkan badan istrinya, membuat Syifa sedikit terkejut. "Karena seburuk apa pun wajahku nanti, aku menjamin rasa sayangmu terhadapku tidak akan luntur begitu saja."
Lelaki itu mencubit pipi istrinya penuh sayang, sedang Syifa cemberut, pura-pura marah saat Rauf mencubiti pipinya. "Sakit tahu!"
Bukannya berhenti, Rauf malah semakin gencar menowel pipi Syifa, sampai membuat gadis itu benar-benar marah.
"Aku suka kalau kamu marah, Fa. Soalnya cantikmu bertambah." Kini giliran hidung Syifa yang menjadi sasaran empuk untuk dicubit Rauf. Gadis itu menatap lekat-lekat suaminya yang masih menjahilinya.
"Ya sudah, kalau gitu sekarang aku tidak akan marah." Dia melepaskan tangan Rauf dari hidungnya, kemudian hendak keluar dari dapur. Saat hampir melangkahkan kaki, langsung ditahan oleh Rauf.
"Aku kan sudah bilang buatkan aku susu. Aku mau minum susu," kata Rauf kepada Syifa. Syifa menggeleng, kemudian memegang pipi Rauf sebentar dengan kedua tangan. Semakin hari Rauf semakin manja, membuatnya sedikit kewalahan.
"Sayang ...," ucap Rauf memelas. Tiba-tiba dia salah tingkah karena dipanggil Rauf seperti itu. Pipinya memanas, merah merona seperti kepiting rebus. Karena tidak ingin Rauf tahu jika pipinya memerah, dengan cepat dia segera mengiyakan permintaan suaminya itu. Rauf menunggu di ruang keluarga sambil menonton bola.
Sekitar lima menit akhirnya minuman itu jadi. Rauf yang saat itu menonton teve lekat-lekat langsung berhenti saat melihat istri cantiknya membawakan dirinya segelas susu cokelat. Dia pun menyuruh Syifa duduk di sampingnya.
"Tidak ah, aku tidak mau. Aku tidak suka menonton bola," tolak Syifa, membuat Rauf harus mengganti channel teve.
"Jamaah ... ooh jamaah. Alhamdu ... lillah." Begitulah suara teve yang Rauf nyalakan, membuat Syifa tertawa terbahak.
Dengan manja Rauf menarik baju Syifa lembut, berharap wanitanya mau duduk di samping dirinya. "Kenapa tarik-tarik?"
"Aku cuma ingin kamu duduk di sini." Akhirnya Syifa duduk, menemani suaminya menonton teve. Tak dihiraukan suara presenter di teve dan ustaznya, mereka berdua malah mengobrol.
"Kamu tahu tidak, duduk denganmu seperti ini sudah membuat hatiku bahagia?" kata Rauf perlahan, dia kemudian menggenggam erat jemari sang istri yang salah satunya terlingkar cincin pemberian darinya.
"Mas, kamu tahu tidak, kalau senyummu itu bisa memikat hatiku? Seperti hariku hampa tanpa senyum indahmu?" Kini giliran Syifa yang menggombal. Membuat pipi Rauf memerah. Baru kali ini dia melihat Rauf salah tingkah seperti itu. Matanya pun seperti menolak untuk bertemu manik mata Syifa. Pemuda itu mengedarkan pandangan ke segala penjuru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Bidadari Bumi [END]
EspiritualAn amazing cover by. @Es_Pucil Menikah tanpa dasar cinta, apakah bisa? Takdir seakan tengah menguji Syifa saat seorang pria paruh baya melamarkan anaknya, Rauf. Pernikahan yang dia dambakan seperti romantisme kisah Humaira bersama Rasulullah adalah...