Hari yang ditunggu-tunggu datang. Kabar bahagia yang membuat semua orang tersenyum telah tiba. Ah, tidak. Tidak semua orang tersenyum, hanya dua insan yang menjadi pemeran utama dalam skenario besar ini. Ya ... Syifa salah satunya. Walaupun hari ini hari yang baik, tidak akan menjamin hatinya akan ikut membaik, bukan?
Gadis itu memandang dirinya di pantulan cermin. Semerbak udara Subuh masih terasa. Embusan angin perlahan-lahan meniup baju biru yang penuh dengan pernak-pernik itu.
Dalam hatinya cemas, apakah dia bisa membina rumah tangga dengan seseorang yang bahkan menaruh nama di hatinya saja enggan? Yang memperparah, ada gadis lain yang sudah mengisi relung hati sang calon suami.
Bisakah dia membangun bahtera rumah tangga tanpa dasar cinta? Cukupkah cintanya sendiri membangunnya?
Mata gadis itu berkaca, menatap dirinya di pantulan cermin yang begitu menyedihkan. Seperti percuma saja riasan itu memoles wajahnya. Percuma saja baju mahal itu menutupi tubuhnya. Hari yang seharusnya membuat hatinya berbunga-bunga dan bahagia, kini malah membuat air matanya hendak menetes. Dadanya sesak bukan kepalang.
Ingin menangis, tetapi tak bisa. Menahan tangis pun tak bisa. Bendungan air matanya seakan enggan untuk menampung air matanya lagi.
Tidak apa-apa, Insyaallah kalau niat karena Allah, akan diberi kemudahan oleh-Nya. Begitulah sepenggal kalimat yang memotivasi Syifa.
Tiba-tiba, suara pintu diketuk. Terdengar suara Ibu dari balik pintu.
"Nduk, sudah?" tanya Ibu. Suaranya samar, tapi dia tahu jika sang Ibunda tengah berbahagia. Lewat nadanya, mungkin Ibu saat ini sedang tersenyum riang.
Sesegera mungkin Syifa mengibaskan kedua tangannya di depan mata, dengan harapan agar netranya yang berkaca-kaca itu hilang.
"Sudah, Bu." Syifa buru-buru membuka kunci pintunya, tersenyum kepada Ibu. Baru kali ini dia melihat wajah ibunya yang berseri seperti hari itu.
"Subhanallah, anakku, cantiknya." Jemari Ibu mengusap pipi Syifa pelan, membuat blush on yang dipakai sedikit berkurang. Syifa mengerucutkan bibir sembari tersenyum. Ibunya memang suka menggodanya.
"Ibu sudah menelepon Ana pagi tadi, Fa."
"Terus?"
"Katanya tidak bisa. Ya ... sebenernya bisa, tapi dia tidak punya uang ke sininya. Pas ibu kabarin, dia marah-marah katanya kita telat mengabari," kata Ibu bercerita antusias. Syifa memoles senyum, menatap Ibunya yang sangat bahagia hari ini.
"Ya kalau tidak punya uang tidak apa-apa, Bu. Lagi pula, dia KKN memang sedikit jauh dari sini. Harus oper kendaraan tiga kali. Ongkosnya pun tidak murah. Biar uangnya jadi kebutuhan di sana saja, Bu. Syifa cuma minta doa agar rumah tangga Syifa nanti bisa sakinah mawadah warohmah."
"Sudah ibu katakan tadi, Nduk. Wis, wis. Lek cepak-cepak.¹" Ibu segera menatap Syifa dari atas ke bawah, mendikte dan mengoreksi seolah tidak ada kesalahan sedikit pun.
Syifa tertawa, membuat Ibu memasang ekspreksi bingung.
"Cepak-cepak apa? Ini masih jam enam, lo," jawab Syifa kemudian, membuat Ibu menyengir kuda. Maklum, ini hajatan pertama kali Ibu yanh besar-besaran.
Syifa berjinjit, menatap pelataran rumahnya yang sudah diberi tenda. Kemudian, beralih ke dapur. Kadang, tetangga yang ikut rewang¹ melihat Syifa, kemudian berkata, "Calon pngantin baru. Pagi-pagi sudah cantik."
Syifa membalas candaan itu dengan polesan senyum. Kemudian menatap pintu bolak-balik saat diajak bicara Ibu. Menunggu seseorang. Ya ... calon suaminya. Mendengar nama pemuda itu yang disebut tetangga berkali-kali pun hatinya rasanya teriris.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Bidadari Bumi [END]
SpiritualAn amazing cover by. @Es_Pucil Menikah tanpa dasar cinta, apakah bisa? Takdir seakan tengah menguji Syifa saat seorang pria paruh baya melamarkan anaknya, Rauf. Pernikahan yang dia dambakan seperti romantisme kisah Humaira bersama Rasulullah adalah...