Rauf tengah membaringkan diri kala istrinya kabur dari rumahnya. Ah, bukan kabur, tetapi pergi. Gadis itu meninggalkan Rauf dengan perasaan sedih diiringi tangis dan muka sendu. Padahal, hari masih pagi, baru beberapa jam yang lalu dia pergi ke rumah Rauf. Jika harus kembali ke rumah, apa yang harus dikatakan kepada orang tuanya?
Dia berjalan menyeret, merasakan hatinya yang sakit tercabik-cabik. Berjalan di trotoar dengan mata berkaca, kadang salah satu tangannya mengusap air mata.
Mengapa dulu dia menerima pernikahan ini jika akhirnya akan seperti ini? Mengapa dulu Rauf melamarnya jika hatinya masih milik gadis lain?
Laksana batu karang, sekuat apa pun dia bertahan, jika ombak sudah menyerang, dia bisa apa? Setegar apa pun batu karang, bukankah lama-lama akan terkikis oleh air laut secara perlahan?
Mungkin itu yang dirasakannya. Sakit memang jika dirasa, apalagi saat dia pernah berjanji akan mempertahankan hubungannya dengan Rauf? Mengapa dia begitu lembek? Mengapa dia membiarkan hatinya lama-lama terkikis dengan duka-lara?
Jadi ... dia akan ke mana?
Syifa seperti kucing jalanan yang tidak tahu arah ke mana akan pergi. Dia menatap kosong lalu-lalang kendaraan yang melintas di sampingnya. Rehat sejenak, dia duduk di kursi yang disediakan pemerintah. Di bawah pohon rindang dengan teriknya matahari membuatnya sedikit terhibur.
Setidaknya, Allah selalu bersamanya. Allah selalu memberikan tempat untuk sandarannya.
Bergegas dia mengambil ponsel, mengetik sebuah pesan, kemudian mengirimkannya kepada seseorang.
Entahlah, saat ini Rauf tengah mencarinya atau ....
Tling!
Sebuah notifikasi pesan hadir di layar ponselnya, tertera nama Ana, adik kesayangannya di sana.
Dari: Ana
Waalaikumussalam, Mbak. Kalau tidak mau pulang ke rumah, ke kosanku saja. Nanti aku ke sana memberikan kuncinya.
Ya ... dia memang sedang bertanya kepada adik tersayangnya sekaligus penasihatnya. Dia akan ke mana? Ana pun tak menanyakan mengapa Syifa izin beberapa hari tinggal di kosannya. Dia tahu, Syifa pasti memiliki alasan tersendiri, dan dia tidak berhak menanyakannya.
Itulah salah satu yang dia kagumi dari sifat adiknya, begitu pengertian dan mengerti perasaannya. Dengan menghela napas yang gusar, dia menghentikan angkutan umum untuk ke kosan adiknya.
Sedang di sisi lain, Rauf mulai tersadar. Bukankah seharusnya dia harus mengakhiri cinta ini? Mengapa dia menyia-nyiakan seseorang yang jelas-jelas sudah menjadi istrinya kepada seorang gadis yang baru saja menyuruh untuk melupakannya?
Seberapa brengseknya dia?
Dia menatap langit-langit ruangan yang dicat bewarna putih. Dia menghela napas, dia seperti seorang karakter lelaki yang berada di novel-novel romance klise. Merasakan dirinya menjadi seorang lelaki pengecut yang kemudian merasakan sesal setelah membuat sang gadis, tokoh utama tersakiti.
Apa dia juga akan langsung mengejarnya? Seperti novel romance klise lainnya, biasanya sang laki-laki akan langsung kembali ke kamar itu dan meminta maaf, menyesal karena telah melakukan itu kepada sang perempuan.
Rauf menatap tangannya sendiri. Jemari dan tangan kekarnya telah menampar seorang gadis!
Apakah dia harus meminta maaf sekarang? Lalu, dari mana?
Pagi menjelang siang, dia belum juga enyah dari tempat tidur. Pandangannya masih menerawang langit-langit ruangan, setelah beberapa menit yang lalu mengerjap karena bangun dari tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Bidadari Bumi [END]
SpiritualAn amazing cover by. @Es_Pucil Menikah tanpa dasar cinta, apakah bisa? Takdir seakan tengah menguji Syifa saat seorang pria paruh baya melamarkan anaknya, Rauf. Pernikahan yang dia dambakan seperti romantisme kisah Humaira bersama Rasulullah adalah...