[LENGKAP]
Awalnya setiap perhatian juga sentuhan yang Kakaknya berikan terhadap Ilana hanya dianggap hal yang lumrah oleh gadis itu. Sama halnya perlakuan Kakak pada seorang adik seperti kebanyakan, namun lambat laun pemikirannya yang semakin dewas...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
※ Author POV ※
Kepulangansang Papa benar-benar kejutan untuk Lana. Gadis itu sama sekali tidak menyangka bahwa dirinya dapat ditemukan oleh sang Papa, beruntungnya bukan sang Kakak. Sekarang ini Ia dalam proses untuk menceritakan segala yang terjadi pada sang Papa. Perihal alasan kuatnya untuk meninggalkan rumah.
Kakaknya. Lebih tepatnya segala sikap dan perbuatan pria itu.
Alasan utamanya bisa memutuskan untuk pergi dan kembali pulang ke panti asuhan dimana dulunya Ia tinggal sebelum diadopsi sang Papa.
"Aku takut, Pa..."
"Takut?"
Kepala Lana mengangguk, jari-jari tangannya bergerak memainkan ujung kemeja seragamnya.
"Takut apa sayang?"
Sebelum kembali buka mulut, Lana menoleh menatap kearah Daren yang menunggu jawabannya. "Kakak.", cicitnya mengembalikan pandangnya pada ujung kemejanya.
Kedua alis Daren saling bertautan, "Kamu takut sama Kakak? Kamu diapain sama Kakak sayang bilang sama Papa! Kamu dimarahin? Kamu dikasarin atau kamu dipukul?"
Semua yang dikatakan oleh Daren spontan terbantah dengan telaknya. Kebalikannya, Sean membuat Lana takut dengan segala perhatian dan rasa sayangnya yang berlebihan yang Lana dugalebihdarisayangdariKakakuntukadiknya. Pemikiran ini ada karena pendapat dari Vito juga Bu Thea. Lana sendiri terlalu lamban untuk peka terhadap apa yang terjadi disekitarnya.
"Ya kamu dipukul?"
Lana menggeleng. Daripada menyebutkan kata dipukul lebih tepatnya jika kata dicium yang keluar. Maka jika Papanya bertanya, kamudicium? Saat itu juga Lana akan mengangguk.
"Terus kamu diapain sama Kakak?"
Maka Lana buka semuanya secara perlahan. Bagaimana perlakuan Sean kepadanya sampai di detik terakhir kalinya Ia masih berada di rumah besar itu. Sedang Daren hanya mendengar dengan ekspresi wajah yang susah dibaca.
"Menurut Papa itu wajar? Tapi, aku takut Pa beneran..."
Satu hal yang akhirnya Daren sadari disini bahwa keputusannya untuk meninggalkan keduanya bersama dirumah adalah keputusan yang salah. Putera kandungnya telah mencintai puteri angkatnya.
"Pa, aku ga mau pulang kesana! Aku mau hidup normal kayak anak-anak kebanyakan! Punya banyak temen dan ga dijauhin! Bisa bebas dan ga dikurung lagi..."