25. Moments of Letting Go

1.8K 161 1
                                    


Cuaca siang ini mencapai 36 derajat celsius. Sinar matahari yang menembus kaca jendela lantai tujuh belas sangat menyilaukan, membuat suhu pendingin ruangan di dalam kelas menjadi tidak terasa. Beberapa siswa tampak mengubah fungsi buku atau lembaran kertas menjadi kipas manual, termasuk aku. Peluh lumayan mengucur dari kedua pelipis dan beberapa kali aku sibuk menyekanya. Sungguh bukan suasana yang ideal untuk mendukung proses belajar.

"Ssaem, boleh istirahat sebentar untuk ambil minum?" Salah seorang siswa tampak mengangkat tangannya, setelah mendapat izin, siswa berambut pendek itu langsung menghambur keluar kelas dengan botol minum di tangan. Tidak lama kemudian, menyusul beberapa siswa lainnya yang seperti sudah menunggu saatnya keluar. Entah memang akan mengambil minum seperti siswa yang pertama, atau hanya sekedar mencari ruangan yang lebih sejuk.

"Kalian tidak istirahat?" tanya Ssaem dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata ke arahku. Aku melirik ke beberapa kursi di sebelah kananku, dan baru menyadari keberadaan Leon.

"Tidak, Ssaem, mengerjakan ini," jawabku menunjuk ke arah buku pelajaran yang terbuka. Tentu saja aku tidak sedang berperan menjadi murid yang baik, karena sebenarnya aku hanya malas saja keluar ruangan. Aku ingin cepat-cepat selesai kursus hari ini dan langsung tidur semalaman.

Ssaem mengangguk mendengar jawabanku, samar-samar aku mendengar ia menanyakan pertanyaan yang sama ke Leon. Tidak lama, Ssaem pun memutuskan keluar ruangan dan tersisa aku dan Leon saja di dalam ruangan.

"Tidak mau cari minum atau apa, Riss? Panas banget di sini," seru Leon beranjak berdiri dari kursinya dan berjalan mendekatiku.

"Malas, gue enggak bawa botol minum juga. Ambil minum di dispenser sana kan enggak ada gelas. Kalau harus turun beli minum di bawah, lama sekali harus menunggu lift," jawabku tanpa memalingkan muka dari buku.

"Gue mau turun sebentar, sekalian gue mampir convinience store deh. Lo mau thai tea?" tawar Leon.

"Boleh deh, tapi...,"

"Less ice, less sugar, noted," jawab Leon sigap sambil meletakkan tangan kanannya di dahi seperti memberi hormat. "Mana mungkin gue lupa, kalau setiap pesan lo ingatkan terus."

"Bagus deh kalau ingat, sudah sana cepat keburu Ssaem kembali," ujarku menggoyang-goyangkan kedua tanganku, mengusirnya untuk segera pergi turun. Selama-lamanya Ssaem memberi kami waktu istirahat, tidak pernah lebih dari setengah jam. Kalau tidak bergegas, mana mungkin terkejar beli minum di lantai dasar.

Selepas kepergian Leon, aku mencoba kembali fokus pada buku pelajaran di tangan. Tidak terasa sebentar lagi ujian kenaikan tingkat akan dilakukan, sampai juga aku di akhir perjalanan belajar bahasa Korea ini selama enam bulan terakhir. Walaupun ternyata keahlian berbahasa Korea ini tidak terlalu terpakai saat kami ke Seoul kemarin, karena akhirnya ada penerjemah juga yang membantu, tetap saja aku merasa bangga dengan pencapaian ini. Setidaknya, ada satu ilmu baru yang kukuasai di tahun ini. Walau terus terang saja, aku juga bingung apa yang mendasariku untuk tetap rajin datang kursus. Sebelumnya karena desakan Leon, tapi setelah kepulangan kami dari Seoul sebenarnya sudah tidak ada desakan apa pun juga dari Leon, tapi tetap saja aku memutuskan datang. Sepertinya aku mulai jatuh cinta dengan bahasa ini.

"Mbak Rissa sendiri saja?"

Aku menoleh ke arah sumber suara, menemukan salah satu teman sekelasku telah kembali ke ruangan.

"Iya, malas turun," ujarku memaksakan senyum. Aku mengenal teman sekelasku ini sebagai salah satu orang yang sering diajak Leon makan sehabis kelas, tapi aku tidak ingat namanya. Rajin datang ke kelas bukan berarti aku mampu menghafal nama-nama teman sekelasku. Menghafal pelajaran saja aku sudah kesusahan, apalagi ditambah mengingat nama-nama mereka.

Kick Me Out!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang