16. Moments of Proximity

1.7K 164 4
                                    


Aku menatap pasrah pada tumpukan kertas dengan tulisan yang seperti menari-nari di mataku. Pensil mekanik yang sebelumnya kupakai untuk mencoret-coret, tergeletak pasrah di atas susunan itu. Sekitar lima belas menit lagi waktu istirahat siang berakhir dan aku masih belum tahu apa yang akan dilakukan dengan semua lembaran tersebut.

"Belum selesai?"

Aku menggeleng. Leon baru saja kembali ke ruangan dengan aroma citrus yang cukup kuat. Pria ini pasti habis makan di warung tenda, sudah jadi kebiasaan Leon untuk langsung menyemprotkan parfum demi menghilangkan bau asap yang melekat.

"Gue bingung penambahan partikel ini deh, Bok," ujarku seraya melempar pandangan lunglai ke arah kumpulan kertas tak berdaya.

"Bagian mana sih?" tanya Leon sembari menggerak-gerakkan kedua kaki, demi memperpendek jarak kursi kerjanya dengan mejaku.

Aku mengangsurkan lembaran kertas fotokopi yang masih perawan, kecuali tulisan namaku di sudut kanan atas yang menyempil malu-malu.

Leon mengambil kertas dari tanganku, melihatnya sekilas kemudian membaliknya ke halaman yang kosong. Melalui intipan sekilas lewat sela-sela lengan kirinya, sepertinya Leon membuat sebuah tabel yang masing-masing tabelnya diberikan warna berbeda. The perks of having so many different colors of pen ya. Sekitar beberapa menit Leon berkutat dengan table-tabeli itu, sebelum menyerahkan kembali kertas tepat di hadapanku.

"Kata-kata di sebelah sini," serunya sambil menunjuk pada kolom yang terletak paling kanan, "perubahannya seperti ini," lanjutnya sembari terus menggerak-gerakkan pena berwarna ungu. "Sementara kolom tengah untuk kata-kata yang mendapat penambahan partikel ini," tunjuk Leon kembali ke arah rumus tata bahasa yang baru saja digoreskannya. "Ini memang sedikit ambigu sih, mau tidak mau harus menghafal.

Aku mengangguk-angguk mendengarkan semua penjelasan Leon. Saat ini seperti ada lampu kecil yang tiba-tiba menyala di dalam kepalaku, lampu tersebut seakan-akan menyala lebih terang semakin lama aku mendengarkan pemaparan Leon.

"Gila, cara lo menjelaskan lebih oke dari Ssaem*. Sekarang gue tahu proses perubahannya seperti apa, dari kemarin gue clueless tahu enggak sih?" ujarku berseri-seri setelah Leon menyelesaikan penjelasannya. Sekarang aku melanjutkan mengerjakan tugas yang sebelumnya dicontohkan Leon.

"Kenapa enggak tanya sih pas di kelas kalau lo bingung?"

"Masalahnya, saking bingungnya, gue sampai enggak tahu mau tanya yang mana," balasku langsung. Belum lagi kelas yang berjalan di jam-jam kritis selepas makan siang tidak hanya membuatku sering mengantuk, tapi juga lapar. Jam tiga sore itu biasanya waktu yang tepat untuk jajan-jajan lucu kalau sedang di kantor. Nah, Semua faktor tadi ditambah dengan pelajaran yang diberikan benar-benar menguras semua energiku dalam berpikir jernih.

"Kita masih setengah jalan, Riss. Akan makin kompleks nanti ke belakangnya. Lo musti paham dasar-dasar awalnya."

"Pusing banget gue, Bok. Sekarang gue meratapi nasib kenapa bisa-bisanya setuju sama ide gila lo ini," ujarku sambil melempar pandangan menuduh ke arah Leon.

Leon cengar-cengir saja membalas tatapanku. "Setidaknya kelasnya kan menyenangkan, Riss," kedip Leon semringah.

"Lo kali yang happy, banyak penggemar. Sementara gue miskin pemandangan," ucapku mencibir, teringat penghuni kelasku yang lain. Entah mengapa bayangan Leon dikelilingi anak-anak sekolah itu kembali muncul, terutama saat kami makan bersama selepas kelas. Leon benar-benar jadi raja minyak setiap kelas selesai.

"Kalau gue enggak kenal lo banget, kayak cemburu komentar lo deh," gelak Leon sambil mengacak-acak rambutku yang kemudian berusaha kulindungi dengan kedua tangan.

Kick Me Out!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang