28. Moments of Tension

1.8K 190 8
                                    


Acara Town Hall hari ini berjalan lebih lama dari sebelumnya yang biasa sudah selesai dalam waktu satu jam saja. Ada begitu banyak agenda yang dibicarakan hari ini, salah satunya tentang proyek Seoul yang kontrak kerjasamanya telah final. Pak Irwan, ditemani Mas Deni, memberikan presentasi kepada seluruh karyawan tentang Micro Graph dan rencana kerjasama yang akan dilakukan. Mendengar penjabaran Pak Irwan siang ini, semuanya terkesan mudah saja tanpa kendala. Padahal kalau mengingat kembali semua proses negosiasi saat itu, rasanya ingin menelan panadol saja banyak-banyak. Ah, aku jadi teringat Mr Jung dan semua gagap komunikasi yang terjadi sebelumnya. Apa kabar pria itu ya.

"Kenapa lo senyum-senyum sendiri?" Linda berbisik ke arahku di sela-sela suara Pak Irwan yang mendominasi.

"Hanya ingat sesuatu," ujarku balas berbisik. "Panjang ceritanya, yang pasti enggak semulus itu semua proses terkait persiapan kontrak."

"Mencurigakan," Linda mengerutkan dahi, menatapku dengan pandangan menyelidiki.

Aku menahan tawa melihat sikap Linda, menutup mulut dengan tangan kananku. "Sudah ah, balik fokus ke Pak Irwan," bisikku setelah berhasil meredam tawa.

"Pak Irwan sudah mengumumkan soal pengunduran diri lo, kayaknya banyak yang kaget. Lo gila ya benar enggak kasih tahu tim lo sama sekali." Linda mengganti topik pembicaraan setelah beberapa saat kami terdiam, sepertinya mulai bosan mengikuti acara Town Hall ini dan memutuskan kalau berbisik-bisik adalah cara paling ampuh menghalau kebosanan.

"Gue report ke Mas Deni, seharusnya sudah cukup sih info dia saja," balasku acuh, berusaha terlihat tetap fokus memperhatikan Pak Irwan yang kali ini membahas tentang target akhir tahun yang harus dikejar.

"Tetap saja, Riss. Setiap hari kan lo berhubungan sama tim lo, enggak adil buat mereka," Linda berhenti berbicara, melempar pandang ke area tempat Leon berdiri. "Leon bolak-balik melihat ke arah sini dari tadi," lanjutnya seperti mendesis di telingaku.

Tanpa diperjelas oleh Linda pun, aku sudah tahu Leon tidak berhenti menatapku sejak tadi. Sejak pandangan kami bertemu, sesaat setelah Pak Irwan mengumumkan pengunduran diriku, aku memang merasakan pandangan Leon seperti tidak lepas dariku. Bahkan melirik notifikasi di ponsel, aku melihat Leon mengirimkan beberapa pesan singkat.

"Tuh kan, dia melihat ke arah sini lagi," Linda masih saja berbisik, berusaha mendapatkan jawaban dariku. "Sengaja banget deh lo, berdiri dekat-dekat gue hari ini."

Kali ini aku tidak bisa menahan diri untuk terkikik. Rupanya Linda benar-benar tidak menyadari maksudku berdiri dekat dengan dia dari tadi. Padahal memang sengaja aku menghindar dari timku siang ini.

"Ih, Rissa, menyebalkan," ketus Linda masih dalam suara rendah, untuk memastikan tidak ada yang mendengar percakapan kami.

Linda tidak melanjutkan percakapan kami, selain karena aku juga tidak membalasnya, Mbak Martha baru saja mengambilalih acara. Kalau sudah sesi HR, dapat dipastikan suasana Town Hall langsung senyap. Mbak Martha akan memastikan semua karyawan menyimak penjelasannya dengan baik. Tanpa sadar, aku kembali memalingkan muka ke arah Leon. Pria itu masih saja melempar pandang ke arahku, kali ini mulutnya terlihat bergumam. Tanpa perlu lama mengartikan gumamannya, aku sudah tahu apa yang Leon maksud. Ia meminta aku mengecek ponsel.

Riss, selesai Town Hall, jangan langsung pulang ya. Kita ke Dome yuk, gue yang traktir.

Aku membaca pesan terakhir yang dikirimkan Leon, tertera nyata di notifikasi ponsel. Aku melirik jam di ponsel dan menyadari sudah pukul empat sore sebentar lagi. Selepas Town Hall, biasanya akan ada acara makan bersama dengan sistem potluck. Aku sudah berencana menyelinap pulang saat potluck berlangsung, sehingga tidak perlu berhadapan dengan Leon. Besok saja aku menjawab semua pertanyaan-pertanyaannya.

Kick Me Out!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang