31. Moments First

6.6K 276 13
                                        


"Thanks ya, Lin. Gue hutang budi jadinya," ujarku selepas menerima amplop cokelat berisikan surat keterangan kerja.

"Jangan lupa traktir gue saja nanti, gaji pertama."

"Pasti, semoga lo enggak lagi lembur terus kayak gini tapi ya," ledekku melihat tumpukan berkas masih menggunung di meja kerja Linda.

"Ini salah satunya karena belum ada pengganti lo nih," jawab Linda sambil menunjuk ke arah berkas yang tertumpuk. "Ini kan biasanya lo yang pegang, cek reimbursement sebelum sampai finance. Sekarang semuanya harus gue lihat dari awal semua."

"Yah, dari awal juga itu memang kerjaan finance kali, entah kenapa bisa sampai ke gue," balasku tak mau kalah, teringat dengan semua tambahan-tambahan job desk yang kuterima sebelumnya.

Linda tertawa. "Tapi lo membantu banget, Ris. Kerja lo juga cepat. Gue saja kehilangan, apalagi tim lo."

"Tim gue kenapa?" tanyaku tanpa sadar. Pandanganku otomatis beralih ke area meja kerjaku dahulu, yang terletak di ujung yang berbeda dengan area kerja Linda. Samar-samar masih terlihat banyak orang yang berada di kantor, lampu ruangan juga masih menyala terang.

"Sama kayak gue, lembur terus kerjaannya. Mana ada proyek Netflix yang lagi dikejar sekarang. Leon kayaknya sudah dua hari menginap di kantor."

"Oh," gumamku pelan. Aku teringat kantung mata yang cukup tebal menggantung di bawah kedua matanya, menjelaskan juga kemeja Leon yang tampak kusut saat bertemu di depan lift tadi.

"Mau ambil surat keterangan kerja ya?" tanya Leon setelah aku keluar dari lift. Pintu lift sudah tertutup, sepertinya Leon tidak jadi masuk ke dalam lift.

Aku hanya mengangguk. Aku malas membalas pertanyaannya lebih lanjut, dan memutuskan untuk langsung berbelok ke arah lobi Coridel Live. Baru saja aku akan melangkah ke arah lobi, Leon memegang lengan kananku.

"Maaf, Ris," ujar Leon. "Please, gue minta lo kasih kesempatan gue menjelaskan," lanjut Leon setelah berhasil menahanku berjalan lebih lanjut. Sebenarnya bisa saja aku mengenyahkan tangan Leon dengan mudah, tapi entah kenapa kedua kakiku seperti mendadak kaku.

"Gue pikir sudah enggak ada yang perlu dijelaskan. Kita toh sudah enggak kerja bareng lagi," balasku tanpa menoleh sedikitpun ke arah Leon.

"Gue suka sama lo."

Aku melepaskan pegangan tangan Leon dari lenganku dan beranjak meninggalkan pria itu. Omong kosong apa itu yang baru saja diucapkannya.

"Gue mau makan di Dome, semoga lo bisa mampir sebentar dan mendengar penjelasan gue," ujar Leon setengah berteriak sebelum aku mendengar bunyi lift tertutup.

"Eh, lo dengar enggak sih?" Suara Linda mengagetkanku. "Bengong begitu. Kayaknya lo capek ya, pulang sana. Sudah malam juga."

Aku melirik jam kecil di meja kerja Linda, sudah hampir pukul setengah sembilan malam. Teringat jadwal induction besok pagi-pagi sekali, aku semakin malas pulang sebenarnya.

"Malas balik gue sebenarnya. Besok gue masih ada jadwal orientasi. Gila, padat banget jadwalnya," keluhku tanpa sadar pada Linda.

"Bukannya wajar Ris? Lo kan pindah ke perusahaan besar. Pasti lebih terstruktur-lah di sana."

Aku terdiam, teringat Vira pernah mengungkapkan hal yang sama. Entah kenapa sebelumnya tidak pernah terbayang kalau perbedaannya akan sejauh ini.

"Sudah, pulang sana, simpan tenaga lo," tambah Linda setengah mengusir.

Setelah mengucap salam perpisahan, akhirnya aku melangkah keluar. Apapun, Linda benar juga. Besok masih ada hari baru yang padat.

Selesai menukar ID card gedung dengan ktp, ponselku bergetar.

Kick Me Out!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang