Aku menghentikan aktivitas memotong sandwich yang baru saja diletakkan di atas, selepas Vira memberikan kabar mengejutkan. Aku dan Vira tengah sarapan pagi di area Dome. Berkat teleponku semalam, Vira memutuskan untuk bertemu langsung saja denganku pagi ini dan akhirnya berakhir dengan kami merencanakan makan pagi bersama. Ternyata ia tidak hanya datang untuk memberikan dukungan moral untukku, namun punya berita yang terus terang saja membuat motivasi kerjaku langsung terjun bebas.
"Lo lolos seleksi di Bank Persada?" ujarku pelan-pelan, mengulang informasi panjang lebar yang disampaikan Vira semenit yang lalu.
"Iya." Jawab Vira tangkas kemudian menyuap sepotong besar muffin ke dalam mulutnya. "Gue sudah medical check-up minggu lalu dan kemarin offering gaji. Tadinya mau cerita sama lo, tapi enggak enak lihat lo lagi kalut soal rencana tahap pertama yang buyar itu," jelas Vira merujuk pada aktivitas kepanikan aku saat Mas Deni menegur kemarin. "Lagipula, gue sempat enggak yakin mau terima posisi di Bank Persada. Gue dapat info gajinya kecil di sana, lebih besar uang saku gue sebulan. Kemarin saat dipanggil untuk offering, ternyata lumayan juga. Yah, masih lebih besar uang saku sebulan sih, tapi banyak benefit pekerjaan yang oke. Misalnya cuti tahunan sampai 24 hari," cerocos Vira selepas menelan muffin sepenuhnya.
Aku memonyongkan mulutku mendengar cerita Vira, this lucky bitch kadang-kadang menyebalkan banget. Terlahir tidak pernah merasakan kekurangan hidup memang dapat membuat rasa empati menurun.
"Gaji pokok Bank Persada itu dua kali take home pay gue sekarang Vir," responku masih dengan muka ditekuk.
Vira ketawa, sepertinya sudah imun dengan semua perubahan reaksi yang ada di mukaku pagi ini.
"Makanya cepat keluar deh dari sana, sudah mau enam bulan masih betah saja lo," gelak Vira.
"Ini gue lagi usaha kali. Coba dibantu sahabatnya," seruku sebal. "Kali ini gue yakin risikonya lebih besar untuk dikeluarkan, menyangkut uang soalnya. Semua yang berhubungan dengan uang selalu masuk ke area sensitif. Masalahnya justru, gue enggak yakin sama diri gue sendiri," keluhku pelan. Aku sudah menceritakan kepada Vira terkait gagalnya rencana pertama karena diliputi rasa bersalah, lengkap dengan hasil akhir yang berbanding terbalik dari rencana. Rencana kedua terkait penghilangan dokumen pun sudah aku ceritakan.
"Lo itu kadang terlalu polos," ujar Vira setelah puas menertawaiku. "Orang-orang di sekitar lo lebih polos lagi," lanjut Vira tidak mampu menahan senyum. "Itu Leon sampai berpikir lo kebanyakan pekerjaan dan terakhir sampai kasih hadiah kan absurd." Vira benar-benar tergelak lebih kencang dari sebelumnya sekarang.
"Sudah deh," desisku sambil menarik tangan Vira supaya menghentikan tawanya. Sepertinya kami mulai menjadi pusat perhatian di kafe ini. Suasana kafe di pagi hari memang cukup ramai, terutama dengan orang lalu-lalang memesan kopi.
"Oke, fokus." Akhirnya Vira menghentikan tawanya juga. "Kali ini, buang jauh rasa bersalah lo saat nanti rencana ini terungkap, fokus dengan hasil akhir. Siapkan beberapa jenis skenario yang mungkin terjadi, kalau perlu bikin juga kalimat apa yang akan diucapkan. Practice makes perfect berlaku juga dalam situasi ini."
Aku mengangguk-angguk selama Vira berceloteh panjang lebar tentang semua strategi yang harus disiapkan jauh-jauh hari. Benar juga sih, kenapa juga tidak terpikir olehku untuk latihan dulu sebelumnya. Setidaknya mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan yang mungkin terjadi, sehingga aku enggak gagap seperti kemarin saking kagetnya.
"Terakhir, lo sudah pastikan dokumen itu benar-benar hilang tanpa ada yang tahu kan?" tanya Vira dengan pandangan menyelidik, seperti takut ada hal bodoh yang terlewat dilakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kick Me Out!
Romanzi rosa / ChickLit[TAMAT] Terancam penalti kerja, Rissa mencari bermacam cara untuk dikeluarkan dari pekerjaannya yang menyebalkan. Sayang, semua trik yang dilakukan Rissa malah membuat perusahaan semakin mempertahankannya. Belum lagi rekan kerjanya, Leon, yang secar...