05. Moments of First Plan

4.2K 275 13
                                    


"Tapi ya, lo harus memastikan untuk melakukan semua dengan elegan," ujar Vira selepas aku menyadari kemungkinan terbebas dari kontrak kerja. "Enggak mungkin juga kan, lo dikeluarkan perusahaan dengan catatan yang sangat buruk. Fresh graduate kita, Riss, jangan sampai belum apa-apa sudah kena blacklist perusahaan. Tetap harus jaga image."

"Hmm," balasku sembari mencerna kata-kata Vira baru saja. Aku melempar pandangan ke luar jendela, memperhatikan aura Kota Jakarta di pukul enam sore yang tampak sudah padat. "Maksud lo? Namanya dikeluarkan dari perusahaan, sudah pasti jelek sih image gue. Skala prioritas saja gue sekarang, daripada bertahan enggak jelas di sini, lebih baik keluar."

"Tetap saja, Riss," sela Vira. "Lo tetap harus elegan caranya, harus jaga relasi lah." Vira kemudian menjelaskan tentang arti networking¸tentang pentingnya menjaga hubungan, konsekuensi yang harus ditanggung apabila di awal karir tidak dapat melakukannya dengan baik, juga tentang bagaimana banyak HR perusahaan yang saling terhubung satu sama lain dan bisa jadi juga saling bertukar referensi, baik positif maunpun negatif.

Aku hanya mampu mengangguk dalam diam selama Vira menjelaskan semua hal itu. Pada kondisi seperti ini, pantas saja Vira adalah anak seorang pengusaha besar Priambodo Setiadi. Tanpa disadarinya, Vira memiliki banyak sifat layaknya sang ayah. Seorang pengusaha pasti tidak akan sukses tanpa kemampuan membangun relasi yang kuat.

"Intinya, bermain cantik lah," tutup Vira.

"Bagaimana caranya?" tanyaku putus asa, suasana hatiku tiba-tiba berganti dengan cepat seperti balapan mobil saja. Beberapa saat yang lalu aku sangat bersemangat dengan adanya peluang besar keluar dari kontrak kerja, sekarang semuanya seperti terlihat jauh.

Vira menjelaskan beberapa hal yang kembali, hanya membuatku sanggup menggangguk dalam diam ketika memberikan respon. Semua perkataan Vira benar-benar memenuhi pikiranku sampai aku terlelap malam harinya. Saat seperti ini, aku benar-benar bersyukur punya sahabat seperti Vira, pemikiran-pemikirannya selalu mampu membuatku terpukau.

"Pikirkan satu aspek pekerjaan lo sekarang, yang memiliki resiko paling besar," suara Vira terngiang di kepalaku. "Buat seolah-olah lo melakukannya tidak sengaja. Nanti saat ketahuan, minta maaflah dengan tulus. Namun karena akibatnya sudah fatal, mau tidak mau perusahaan harus mengeluarkan lo."

Jemari tangan kananku berganti-gantian memukul-mukul meja dengan lembut, sementara tangan kiriku menopang dagu. Pandanganku kosong menatap layar laptop, mencoba membuat rencana di dalam kepalaku. Pikiranku terpusat untuk mencari satu aspek dalam pekerjaanku sekarang, yang paling berdampak besar untuk perusahaan kalau sampai dikacaukan.

"Riss, bisa bahas untuk schedule berikutnya sekarang?"

Aku tersentak dari lamunanku dan memutar tubuh, menemukan sosok Mas Deni sudah berdiri di samping meja.

"Untuk proyek yang sedang berjalan sekarang bukannya masih on-track, Mas?" balasku sigap sembari meraih agenda kerja yang telah terbuka, mengecek cepat untuk memastikan aku tidak salah ingat.

Mas Deni menarik kursi di sebelahku, kursi milik Leon. Pagi hari seperti ini biasanya dihabiskan Leon di taman kantor, untuk mencari lokasi untuk selfie.

"Sekarang memang masih on-track, tapi dengan kemungkinan resign-nya Antoni akhir bulan ini, pasti akan memengaruhi jalannya proyek," jelas Mas Deni mengingatkan aku akan keluarnya salah satu anggota tim. "Jadi ada yang harus dirombak schedule-nya. Ini gue sudah buat yang baru, coba lo update timeline masing-masing anggota tim segera." Mas Deni memperlihatkan schedule yang dibuatnya melalui layar ponsel. "Leon yang akan kena paling banyak perubahan," tambah Mas Deni lagi.

Kick Me Out!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang