"Apa masalah Anda dengan mereka? Kenapa kau begitu susah payah mengusik hidup mereka? Apa mereka mengecewakanmu selama ini? Sepertinya, tidak!"
Sejin menggeram. Rahangnya mengeras saat mengucapkan kalimat itu. Jangan lupa tangan yang mengepal di samping tubuhnya. Serasa saat ini ia ingin memberi bogem mentah di wajah namja tua yang tidak tahu malu itu.
Entah kenapa rasanya seperti terkurung pada kegelapan ketika ia menatap wajah dengan segala kedengkian di dalamnya.
"Sejin-ssi, Kau tidak pernah belajar soal dunia bisnis? Jika ada hal yang mampu membuatmu aman dan tetap jaya, kenapa tidak mencoba? Kenapa harus menetap pada satu hal yang kadang hanya berputar pada satu poros?"
"Termasuk menghancurkan mimpi mereka?"
"Ya. Termasuk menghancurkan mimpi mereka."
Sejin mengusap wajahnya frustrasi. Mendengkus kasar, bahkan sedari tadi ia sudah ingin menangis mendengar jawaban petinggi agensi itu.
Apa sesantai itu saat berbicara tentang mimpi? Sejin tahu betul bagaimana ketujuh anak asuhnya itu berjuang untuk mimpi mereka. Dari bawah hingga menjadi sukses seperti ini. Sejin juga sangat tahu seberapa banyak air mata yang telah mereka kuras demi mimpi berdiri di atas panggung megah.
Lalu?
Haruskah ia diam saja?
Tidak akan!
"Apa Anda yakin ini tidak akan menusuk Anda balik? Anak-anak itu mungkin diam saat ini karena hanya sebagian yang Anda tekan. Tapi ingat, persaudaraan mereka lebih dari yang Anda kira. Tidak semudah itu menjatuhkan Seokjin."
Sejin melangkah hendak keluar dari ruang PD-nim.
"Menurutmu apa sasarannya adalah Seokjin?"
Tangan Sejin menggantung di gagang pintu. Membalik menatap manusia yang begitu kejam itu.
"Ya!"
Tawa renyah terdengar. "Awalnya mungkin Seokjin. Tapi sekarang aku sedikit berpikir untuk menambah sasaran."
"Hoseok?" tanya Sejin berusaha menahan amarahnya.
"Kau sangat hebat dalam hal menebak."
"Lakukan saja apa yang ingin Anda lakukan. Tapi jangan berharap aku akan membiarkan Anda merusak impian mereka!"
Blam
Bantingan pintu terdengar memekakkan telinga. Sejin mencoba mengatur ekspresinya seperti semula. Ia tidak mungkin menemui anak asuhnya dengan wajah penuh emosi itu.
Bagaimanapun, ia harus berpikir lebih sehat agar mampu memperthankan mimpi ketujuh bocah itu.
****
Hoseok mendudukkan dirinya di samping Taehyung yang terlalu asik bermain game. Hari ini mereka bebas latihan. Karena besok, mereka akan rekaman untuk lagu di album baru.
Tangannya menyodorkan cemilan kepada Taehyung. Niatnya tulus, setidaknya dengan begitu mereka bisa kembali akrab seperti sedia kala tanpa perang dingin yang mengesalkan.
Namun, Hoseok harus menelan pahitnya kekecewaan.
"Aku tidak menginginkannya, Hyung." Taehyung menepis bungkusan cemilan itu. Ucapannya penuh penekanan terutama saat mengucapkan kata 'Hyung'.
"Tae, bisakah kau sedikit berbaik hati padaku?"
Taehyung berhenti bermain game, lalu menatap Hoseok dengan mimik anehnya.
"Memangnya aku melakukan tindakan kekerasan pada Hyung?"
Hoseok mendengus kasar. "Sikapmu belakangan ini sangat berbeda dari biasanya."
"Aku? Bukannya Hyung yang berbeda? Aneh dan menyebalkan?"
"Tae—"
"Aku akan terus begini sampai Hyung menceritakan apa sebenarnya yang terjadi. Aku tahu, sesulit apa pun masalah, jika Hyung membaginya bersama kami, maka itu akan lebih ringan. Karena apa? Karena bersama kita bisa mencari solusinya."
Hoseok menelan salivanya susah payah. Sungguh ia tidak ingin membuat yang lain semakin terjebak dengan permainan petinggi agensi itu. Namun, ia tidak punya pilihan lain. Taehyung harus tahu dan setelah itu ia akan memberi tahu pada yang lain. Dengan begitu mereka bisa mencari solusi seperti yang dikatakan Taehyung barusan.
"Tae, bagaimana jika dalang dari masalah yang terjadi belakangan ini adalah PD-nim? Menurutmu, apa yang akan kau lakukan?" Dengan susah payah Hoseok mengeluarkan kalimat itu dari mulutnya.
Taehyung meremang. Memejam mata sebelum menjawab.
"A-aku akan melawan, mempertahankan apa yang menurutku benar dan pantas untuk dipertahankan."
"Mempertahankan? Bagaimana mungkin kamu bisa melakukannya jika setiap langkah yang kamu ambil berimbas pada yang lain?"
Taehyung mendengkus pelan. Menatap Hoseok dengan iba. "Hyung, kau percaya dengan kekuatan mimpi? Percaya dengan kekuatan persaudaran kita?"
Hoseok mengangguk. "Lalu apa yang Hyung takutkan? Apa ini juga ada hubungannya dengan ...." Taehyung menggantung ucapannya.
"Dengan pesan yang kau baca itu."
Taehyung menganga. "Hyung tahu?"
"Hanya orang bodoh yang tidak tahu apa yang terjadi Tae."
Keduanya terdiam untuk waktu yang lama.
"Hyung, apa Jin Hyung tahu?" Tae menatap harap cemas pada Hoseok.
"Tidak. Hanya Kooki, Jimin dan bertambah dirimu."
"Aku akan berusaha membantu Hyung. Tenang saja. Aku akan berdiri sejajar dengan Hyung."
Hoseok terkekeh mendengar kalimat yang diucapkan Taehyung. Ternyata membicarakan pada bocah alien itu tidak seburuk yang dipikirkan Hoseok. Setidaknya ia bisa tertawa mendengar kalimat-kalimat ngawur dan aneh Taehyung.
Dan hubungan mereka bisa kembali seperti sediakala. Di mana tidak ada asing yang memberi jarak.
*****
Gimana? Gimana? Emosinya nambahkan?
Huuuuu .... tenang aja,, masih ad kejutan lain, kok. Stay aj ya
KAMU SEDANG MEMBACA
Mianhae (Jhope BTS)
Fiksi PenggemarPERHATIAN! Follow sebelum baca. Diwajibkan vote dan komen ya! ** Cerita ini hanya fiktif semata. Hanya imajinasi author yang terlalu banyak mengkhayal. Cast's dan segala bentuk kesamaan adalah milik Bighit Entertainment. NB : Up setiap Selasa dan...