Titik Akhir

12 1 0
                                    

Dibalik suatu temu ada rahasia semesta dalam andil menyatukan kita. Tapi untuk menjadi satu, ada dua yang harus melebur dari kekerasan hati yang masih belum mau membaur. Di situlah kita terbentur dengan kemauan kita yang masih simpang siur melewati batas suatu jalur. Tak ada garis yang bisa mendamaikan inginku dan inginmu. Entah siapa yang terlalu meninggi dengan ego tanpa memikirkan nasib hati. Dan entah siapa korban di balik berakhirnya cerita ini. Di satu sisi, ada aku dan ketetapanku. Ingin jadikan kita yang tak hanya cerita biasa, namun cerita sepanjang masa. Di sisi lain, ada kamu, juga dengan ketetapanmu. Membiarkan dirimu ikuti alur, sebuah arus rasa yang tak menentu ke mana hendak menuju.

Mulanya, kita sejalan, kita tahu ke mana langkah kaki mengarah. Beberapa persimpangan dilewati, beberapa keputusan besar diambil; tak jarang mengorbankan ego hati. Dan kini, sampailah kita pada titik ini. Persimpangan yang lain, tanda tanya besar yang lain. Seperti sudah lelah mengalah, kita tak mampu bersepakat untuk memilih arah. Kita seperti harus memilih jalan tengah; berpisah. Kemudian kita menyatukan beragam pikiran dari berbagai bagian. Menyuarakan apa yang selama ini sudah menjadi pilihan. Ada beberapa hal yang sudah mengalami perubahan, dan kita tak lagi sedang membawa kecocokan yang pernah dibanggakan. Kesamaan-kesamaan yang pernah ada ternyata tak bisa untuk saling beriringan bersama. Ada yang berbeda dari kita, lalu entah siapa yang sudah menyadarinya sejak lama.

Sebenarnya aku ingin, terlepas dari semua mimpi yang tak lagi sama, aku mau melewatinya lagi, menyatukan perca mimpi agar jadi seutuhnya ‘kita’ lagi. Tapi tidak pernah kau ‘iya’kan. Bahkan menyuarakan asa saja tidak kau izinkan. Sebenarnya kau pikir kau ini siapa? Berani menggenggam, lalu semudah itu melepaskan, hilang entah jadi angin atau udara. Bukannya kamu yang dulu berkata “jangan lepaskan genggaman”? Bukannya kamu yang melahirkan angan-angan dan menghidupkan setiap harap yang berterbangan? Tapi mengapa kamu sendiri yang menjatuhkannya jadi kepingan-kepingan kekecewaan yang berserakan?
Keputusan ini nyaris berbentuk keputusasaan. Apakah ‘sendiri’ merupakan takdir yang harus kita nikmati?

Kukira kamu menganggapku cukup berarti, maka kupertahankan ikatan kita setengah mati. Ternyata, sebuah janji untuk melewati segalanya bersama, bagimu hanyalah sekadar kata. Sementara aku terlanjur mengukir angan kita satu per satu, dari ucapanmu kala itu. Cinta kita baik-baik saja, katamu sembari menggenggam kepalan tanganku. Namun jurang yang kini menghampiri kita, meninggalkan bibirmu bisu seketika. Kemudian masing-masing kita harus meninggalkan impian-impian yang sempat terpahat, dengan langkah yang kurasa semakin berat.

Pada genggaman tanganmu, aku pernah memercayakan masa depanku. Yang kini harus segera kutata kembali supaya sebisa mungkin serupa baru. Ada titik yang semestinya kutinggalkan, sementara aku masih diharuskan untuk menanggung kecewanya sebuah perasaan. Meski tidak sepenuhnya bisa melupakan, seperti kamu yang tidak semudah itu menyamakan kembali tujuan agar sama seperti pada permulaan. Aku sedikit penasaran, apa masih ada kita yang kau imbuhi harapan? Jika tidak, ini adalah terakhir kalinya aku menyapamu lewat kata-kata. Bukan, bukan putus asa atau enggan menjejakkan kaki pada penantian, tapi kupikir berjuang sendiri pun tak ada guna. Kamu harus tau satu hal, banyak rencana-rencana yang tanpa sadar telah kuangankan denganmu sebelumnya, tapi itu hancur beberapa waktu lalu. Kalau dengan melepaskanmu adalah pembuktian, silahkan, lihat dari kejauhan.

Aku tidak akan memaksa hati untuk berjuang sendiri mempertahankan kita yang tak ingin dipertahankan lagi. Pada akhirnya, kitalah penulis yang menamati baris-baris perjalanan ini dengan pemberhentian. Tiada lagi pena yang berlanjut mengeluarkan tinta cerita. Tiada lagi lembar kosong yang menagih waktu kita untuk mendiskusikan skenario cinta. Tiada lagi mata semesta sebagai pembaca yang akan menyaksikan kisah kita. Karena mengakhiri di sini bukan berarti alarm bagi hati untuk berhenti memproduksi berlaksa rasa pada sesiapa lagi. Nanti ada masanya dimana kita lelah mencari dan Tuhan mendatangkan objek pengisi hati lagi. Lalu sedialah masing-masing hati untuk bahagia kembali. Mungkin dengan cara ini, kita diberi jeda berlatih diri dan menghentikan letih hati sambil mendewasakan perasaan. Hingga tibalah bahagia yang akan kita jaga saat berperang melawan kecewa.

Selamat pergi, kamu. Selamat menyembuhkan hati, aku. Percayalah, bahagia itu ada meski dengan atau tanpa kita.

Mungkin yang kini kita butuhkan adalah jarak, juga waktu. Jarak agar kita tak saling bertemu. Dan waktu agar kita mampu sembuhkan luka terlebih dahulu. Mencari pengganti hanyalah rencana hati. Sebab dalam dada ini, tetap hanya ada kamu terpatri, sulit kuganti. Dan setelah ini, meski aku yakin sulit bagiku untuk benar-benar pergi, namun tak mungkin untuk kembali lagi. Kamu pernah menjadi tujuan akhir yang ternyata harus diakhiri. Kamu pernah menjadi penghapus luka yang akhirnya mencipta duka. Kuberdoa pada semesta, agar ini hanya jalan dariNya menuju bahagia; bukan hanya sebuah rencana yang tak berakhir dengan semestinya. Selepas habis tangis ini, Tuhan, mohon ajarkan aku memberi cinta dengan bijaksana.

Baik-baiklah di sana, kalau takdir kita tidak berakhir di garis yang sama, pastikan kenangan telah kau abadikan dalam cawan ketidakabadian.

Sebuah perjalananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang