BISIK

61 9 0
                                    

Lalu kau melahap semua berita duka.
Berita yang benar-benar ada.
Yang nyata bilangan primanya.
Kau melahap habis sampai temu kalap tanpa satu teguk cairan pada tekak. Kau sesak. Realita membuatmu tersedak.
Saat tiga puluh lima juta malam kau habisi dengan berbuat baik pada satu sampai dua, namun pada dirimu, malah kau sembur semua hina—saat itu pula kau memang betul-betul menjadi kau
yang seada-adanya; berbuat baik pada semua sampai melupa pada dirimu sendiri.
Dan bajingannya—ia yang sempat kau tanamkan empati, malah hadiahimu tawa dan satu pisau di belakang.
Ia menancapnya tepat sasaran.
Yang satunya melihat dengan jelas—malah ia yang memberi perintah untuk itu semua.

Tancapkan, katanya.
Tancapkan tepat sampai ke dalam.

Kau tahu ia serba tahu tentang dirimu.
Kau tahu mereka tahu. Pula mereka tahu tentang dirimu.
Mereka melihatmu sekarat dengan berpagut bibir, jemari dengan jemari, dekap demi dekap. Tapi tidak ada isak darimu.
Tidak ada nyeri di ulu hati sebab sudah terlalu bias ekor garisnya.
Tidak lagi menyesal namun kau bersyukur sampai hafal. Tidak ada kesal namun kau lanjut lagi merapal—untukmu yang baik-baik. Tentang sembuh dan merelakan. Tentang damai dan mengikhlaskan.

Merapal lagi engkau—untuk mereka, yang sedikit buruk di dalamnya.
Tentang runtuhnya bumi dan bertabrakannya benda-benda angkasa. Tentang meluapnya air dan amarahnya sang surya karena setidaknya, kau tidak ingin tancap-menancap pisau pada mereka, namun tetap pula kau adalah benda hidup; kau manusia yang penuh kandung akan rasa;
merapal sedikit buruk untuknya, bisalah menjadi obat 'tuk berjuta cua.

Wahai Kawan, semoga kau terus terjaga di setiap malam bertudung kartika.
Dengan sedikit gelisah. Dengan setengah sesak di dada.
Maaf. Amin.

Sebuah perjalananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang