GANGSTA-3.Dingin berpadu misteri

1.1K 64 1
                                    

LEON ABRAHAM

SREEEKK

"Jangan buka tirainya." aku menutup wajahku ketika paparan sinar matahari itu terasa begitu mengganggu.

"Ini Senin, sayang. Kamu gak mau sekolah?"

Aku membuka mataku lalu tersenyum ketika sosok bidadari tak bersayap datang membangunkanku. Dia Riska, Mamaku.

"Eh, Ma." aku memaksakan membuka kedua mataku meskipun rasa kantuk masih menyerang ketika aku tak bisa tidur semalaman.

Mama duduk di sampingku lalu mengelus pipiku lembut, "Kenapa, sayang? Kamu gak bisa tidur, ya?"

Sial. Dia seolah menyadari keadaanku dari kantung mataku yang menghitam. Aku terlalu sering begadang rupanya. Memang, hampir setiap hari.

"Obatnya jangan lupa diminum, ya." ucapnya lembut lalu beranjak pergi. "Oh iya jangan lupa sarapan, ya. Mama buatin menu spesial lho buat kamu!"

Mau tak mau aku segera mandi dan memakai seragamku. Sial, aku tak suka jaket-atau blazer? Atau apapun ini yang harus dipakai sesuai dengan aturan sekolah. Yang jelas warnanya merah maroon. Tapi itu sangat membantu bagiku. Aku harus memakainya.

Setelah bersiap, aku turun ke bawah dan menuju meja makan. Dimana disana ada Mama dan Papaku, Radit.

"Good morning, boy!" Papa menyapaku dengan semangat sambil mengusap-usap kepalaku. "Makan, ya, biar kuat kayak captain america!"

Aku tersenyum singkat. Ini yang aku suka dari Papa. Dia selalu ceria, dan selalu menganggapku layaknya bocah yang berumur lima tahun. Aku tidak merasa terganggu soal itu, karena aku tau Papa bersikap begitu karena dia menyayangiku.

Dan..soal captain america. Dia sering menyebut nama superhero itu ketika sedang bersamaku. Katanya, aku harus kuat seperti captain america. Jika tak bisa melawan, setidaknya lindungi dirimu sendiri dengan tameng yang kau miliki. Tameng apapun yang bisa menguatkanmu. Dan alasan sederhana itu cukup membuatku merasa lebih baik.

"Pagi, Mama!! Papa!!" dari arah lain datang seorang cewek menyebalkan dengan rambut pirangnya. "Pagi juga Kakak ganteng sedunia! Mwah!" sial. Dia mencium pipiku. Itu menjijikkan. Dan soal rambut pirang yang dimilikinya, itu tidak asli. Dia mewarnainya dengan sengaja padahal sekolah melarang keras mewarnai rambut.

"Marcell, Papa kan sudah bilang jangan warnain rambut lagi." Papa menggerutu seperti biasanya, mengomentari Marcell. Bagus sekali, Pa. Tapi sayangnya itu tidak akan mempan.

Yang diajak bicara malah terkekeh tanpa dosa, "Iya Marcell gak punya waktu nih. Soalnya Kak Leon juga gak mau nemenin ke salon." jawabnya lalu menyikutku.

Aku tak menanggapi apapun. Aku hanya sibuk menyantap nasi goreng dengan telur dadar kesukaanku pagi ini. Menu yang sederhana, namun di keluargaku ada sebuah peraturan aneh, yaitu 'dilarang mengonsumsi nasi untuk sarapan pagi'

Ya, itu gila. Tapi peraturan konyol itu dikecualikan untukku. Aku tidak bisa makan tanpa nasi meskipun aku telah menyantap lima potong roti, bagiku itu berarti aku belum makan.

Keluargaku jarang makan nasi. Lebih tepatnya mengurangi mengonsumsi nasi. Mereka lebih suka memakan buah-buahan segar dan sayuran. Mereka ingin hidup lebih sehat, itu katanya. Tapi tetap saja ada yang melanggar di keluarga ini, yaitu aku dan..ah sudahlah. Aku malas menyebut nama pecundang itu.

Jam menunjukkan pukul 06.35. Sial! Aku lupa kalau ini Hari Senin! Aku bisa terlambat upacara.

"Ma, Pa, Leon pergi dulu. Mau telat." ucapku lalu menyalami mereka sebelum pergi.

GANGSTA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang