GANGSTA-4.Pematuh taat aturan

976 48 2
                                    

SAKA MAHENDRA

"Sakit itu bukan ketika kamu menangis setiap saat, Ka. Tapi sakit yang paling parah adalah ketika kamu memang hancur namun tak bisa menangis lagi."

Aku mengerjapkan mataku beberapa kali dan menyadari kalau ini sudah pagi. Tak mau terlambat ke sekolah, aku pun segera mandi dengan pancuran air hangat yang membasuh seluruh tubuhku.

Setelah selesai mandi dan memakai seragam, aku menyiapkan sarapan dan turun ke dapur. Asisten rumah tanggaku sedang cuti, lagipula kalau soal membuatkan sarapan aku tidak pernah sepayah itu.

Dua potong roti dan segelas susu telah tersedia. Aku membawanya di atas nampan dan berjalan menaiki satu persatu anak tangga di lantai atas. Melewati kamar demi kamar kosong yang terlihat sia-sia, lalu berhenti di sebuah pintu kayu besar di hadapanku.

"Ka, kamu harta paling berharga di dunia ini. Harus kuat, ya, sayang."

Aku menghela nafas sebentar lalu mengetuk pintunya perlahan agar tak terkesan buru-buru.

TOK TOK

Tak ada sahutan di dalam sana, untuk yang kesekian kalinya. Sayangnya Bibi Una sedang cuti, kalau dia ada pasti tugasku takkan sesulit ini.

Sekali lagi, aku mengetuk pintu itu dengan penuh harap akan dibukakan oleh sang pemiliknya. Namun ternyata tidak. Bahkan tak ada sahutan dari dalam sana.

"Bu, ini Saka." Aku mengucapkan namaku seolah memperkenalkan diri. Barangkali dia lupa atau memang sudah hilang ingatan tentang segala hal di dunia ini. "Buka pintunya, ya."

Sudah berapa lama aku berdiri di depan pintu yang masih tertutup ini. Ya, tertutup. Dan mungkin akan selamanya begitu.

"Saka simpan sarapannya di nakas depan pintu, ya, Bu." dengan putus asa, aku pun meletakkan nampan berisi sarapan itu di atas nakas di sampingku. Mungkin dia akan keluar dan mengambilnya. Aku tak bisa memaksa masuk ke dalam karena pintunya selalu dikunci. Dan hanya Bibi Una yang bisa membukanya.

Tak mau tergesa pergi, aku melihat foto dengan figura kecil itu tepat di atas nakas. Foto lawas, berlatar abu-abu dan ada aku yang sedang tersenyum lebar disana. Aku sangat bahagia, seolah aku takkan pernah bisa menduga masalah besar yang akan datang ke dalam hidupku.

Perlahan air mataku menetes dan membasahi foto itu. Rasanya aku ingin menangis sekeras mungkin. Cengeng memang. Tapi aku yakin tak semua orang akan kuat bila mereka menjadi diriku.

Namun tiba-tiba, nada dering handphone ku berbunyi dan menampakkan panggilan masuk dari Leon disana. Aku pun segera mengangkatnya.

"Halo, Ka. Maaf gue ganggu." terdengar suara dingin nan calm khas Leon di sebrang sana.

Aku menghapus sebentar air mataku hingga suasana hening sempat menyelimuti di antara aku dan Leon, "Eh iya, Le. Gak papa. Napa?"

"Lo bisa gak jemput gue di rumah? Ban motor gue bocor, nih. Gue gak mau telat." alasan yang sama seperti Minggu lalu. Aku yakin emosi Leon pasti sudah bergejolak saat ini.

"Selow, bro. Gue bakal jemput lo secepat mungkin kayak valentino rossi. Bedanya gue pake mobil."

"Jangan ngebut, bocah. Nanti lo nabrak." aku tertawa mendengar ucapannya. Cukup lucu bagi orang yang tak pernah gila-gilaan ngebut di atas aspal sepertiku.

"Hahaha! Udah, Le. Kita kan sama-sama siswa teladan yang gak mau telat. Udah ah gue otw nih, bye!"

Aku menutup saluran telfonnya lalu bersiap pergi. Aku menatap lebih dulu pada pintu di depanku yang masih tertutup. Aku memberikan waktu lima detik siapa tau pintu itu akan terbuka, namun ternyata tidak. Tadinya aku ingin memberikan waktu lebih lama lagi, tapi mungkin aku akan dihukum oleh Pak Titan selaku guru BK. Namanya lucu omong-omong.

GANGSTA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang