True Love(22)

25 2 0
                                    

Senja selalu menawan. Warna biru pada langit tergantikan oleh sapuan orange yang membentang luas. Dari kursi rotan di teras ini. Aku bisa melihat gerombolan burung terbang membentuk hutuf V.

hari semakin berlalu, malam secepat tergantikan pagi. cuaca yang cerah di pagi hari ini adalah hari dimana yang telah dinantikan para siswa di sekolah kami. ini minggu ketiga tepat dilaksanakannya hari persiapan ulang tahun sekolah kami yang ke sekian kalinya. Di hari yang spesial ini aku akan mempersiapkan diri menyajikan sebuah penampilan diri yang hanya di temani dengan sebuah gitar coklat kepunyaan Leon.

Aku teringat pada Vela Dan Anggita. Selama ini Anggita yang jadi juru bicara Vela. ia kembali menekankan bahwa sebenarnya Vela tidak marah padaku. Dia hanya perlu banyak waktu. Entah sampai kapan? Aku sendiri lelah menghadapi pernyataan ini mungkin.

"Sementara ini kamu fokus sama tujuan awalmu. Sambil menunggu Vela kembali seperti biasa lagi. Kamu harus tetap nyiapin diri buat tampil. tunjukin usaha maksimal yang bisa kamu lakuin buat Kak Bintang."

Pesan Anggita terus terngiang-ngiang di indra pendengaranku. Aku tidak punya banyak waktu untuk mempersiapkan diri. Aku sudah mendaftarkan diri sebagai salah satu pengisi acara pada acara ulang tahun sekolah. Sudah sampai sejauh ini,kalau aku harus menyerah maka semakin banyak hal yang akan menjadi sia-sia.

Beberapa hari ini aku aku absen pergi kerumah Leon untuk latihan Dia juga tidak pernah berkunjung ke sini. Mungkin dia merasa canggung jika harus datang karena sebelumnya dia pernah mengusirku dari ruamhnya.

Aku bergegas keluar rumah dan hendak pergi kerumah Leon. Baru saja aku keluar dari pintu aku sudah melihat Leon muncul dibalik pintu rumahnya ia berjalan ke arahku. tubuhnya berbalutan kaos hitam dan celana pendek beberapa sentimeter di bawah lutut. Aku menghadiakan kaos itu sebagai kado ulang tahun saat Leon ulang tahun beberapa bulan yang lalu.

Aku tahu Leon tidak terlalu menyukai kaos pemberianku. Hanya saja aku sempat bingung memilihkan hadiah yang pas untuknya. Karena aku sering melihat teman-teman kak Yoga memakai kaos seperti itu. aku pikir dengan aku memberikan hadiah seperti itu Leon akan sangat suka. ternyata jauh dari pikiranku. padahal kaos itu adalah kaos yang lagi booming di kalangan remaja sekarang, setidaknya leon menghargai pemberianku meskipun aku tahu leon tidak terlalu menyukainya. Dia selalu memakainya. Meskipun ekspresinya saat membuka kado tidak segembira yang ku bayangkan. Setidaknya dia masih menghargai usahaku dengan dia yang mau menggunakan kaos itu.

Ada yang aneh dari Leon sore ini. Biasanya kalau hanya main kerumah ku, dia cukup menenteng alat musiknya. Namun kali ini alat musik itu seperti tenang karena tersimpan di dalam tas gitar yang di gendong Leon.

"Kamu mau ke rumahku?" Selidiknya begitu aku batal mengunci pintu rumah.

"Aku mau ke warung depan."

"Aku tau kamu mau ke rumahku."

Aku melongos masuk ke dalam pekarangan rumah. Leon mengikutiku dari belakang.

"Aku cuma sebentar," Kata Leon begitu aku duduk di sofa ruang tamu dan juga di ikuti Leon yang duduk di sampingku. "Aku ada janji dengan Kak Khanza,"

"Trus, untuk apa kamu kesini?"

Leon menyerahkan tas gitarnya."Kamu gak bisa persiapan tanpa gitar ini, kan?" ucap Leon yang menaro tas berisi gitar pada pangkuan Maurin. "Untuk penampilan teater,aku udah pake punya sekolah. jadi kamu bisa pake sepuasnya. trus jangan di puter-puter stemmer nya, biar setelannya gak berubah," lanjut leon sambil menjelaskan.

Aku sedari tadi hanya diam memandangi Leon berbicara tanpa memotong, dan tanpa membalasnya. jujur sekarang ini yang sedang ku pikirkan adalah rasa penasaran. Apa yang sebenarnya akan Leon lakukan bersama Kak Khanza. Aku tidak bisa memaksa ataupun mendesak Leon. Aku harus belajar percaya bahwa Leon akan mengatakan semuanya tepat pada waktunya.

"Catetan kunci buat lagu itu masih ada, kan?"

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Gitar Leon sudah berpindah kedalam pelukanku.

"Kalau urusanku dengan Kak Khanza udah selesai, nanti aku kesini lagi atau kamu yang kerumah aku," Terang leon.

Tidak ada yang bisa ku katakan selain hanya mengangguki ucapan Leon sebagai jawabanku.

Aku akhirnya membiarkan Leon pergi dari rumahku, untuk dia menemui Kak Khanza. Aku harap semua akan segera berakhir.

****

"Kakak bakalan datang di acara ulang tahun sekolah, Kan?"

Aku bertanya seperti itu karena aku harus memastikan bahwa Kak Bintang ada di sana untuk mendengarkan ungkapan hati yang ku kemas lewat lagu.

"Ini perayaan ulang tahun sekolah terakhir yang bisa aku datangin. Tentu saja aku pasti di sana," sahut Kak Bintang yang berhasil meluluhkan rasa ke khawatiranku yang sempah membuncah. Kebanyakan siswa kelas XII tidak terlalu peduli pada perayaan ulang tahun sekolah. Mungkin mereka sudah mengikutinya sejak tahun pertama. Ssbagian dari mereka bisa saja berpikir bahwa semua hanya sekedar rutinitas tahunan.

"Aku rencananya mau tampil," ungkapku malu-malu.

"Tampil? tampil apa? Nari?"

Aku menggelengkan kepala cepat. Mungkin Kak Bintang tidak percaya kalau aku akan tampil seorang diri. Bernyanyi sekaligus memainkan gitar sendiri.

"Nyanyi Kak, sekalian...Main gitar," kataku pelan. Aku tidak ingin penumpang lain di bus ini mendengar ucapanku. Kak Bintang terperanjat. Sekejap Dia menggeser posisi duduknya, ingin memastikan bahwa perkataanku tidak sedang berambigu.

"Kamu bisa main gitar?"

"Sedikit kak! Bisa juga mainin kunci dasar. Tapi, kalau udah ada panduannya,"

Kak Bintang tampak antusias mendengarnya. Ada sedikit perasaan senang yang hinggap pada diriku. Membuatku semakin bersemangat untuk tampil sebaik-baiknya.

"wah, bagus dong! Setidaknya kamu udah ada mental buat tampil di depan banyak orang. Itu hebat sekali" kata Kak Bintang yang memujiku. Membuat ada dorongan yang meluap-luap dalam tubuhku setelah di puji seperti itu.

****

Besok sahabatmu tampil, hariku bakalam lebih sempurna. Kalau kalian ada di depan panggung.

Aku melipat kertas berukuran sederhana yang ku buat untuk dua manusia yang duduk menghadap papan di depan kelas. Dengan gerakan, ujung sepatuku menyenggol tempat duduk Anggita. Dia refleks menoleh ke belakang aku. Kemudian aku menyerahkan kertas putih itu padanya.

Anggita menerimanya dengan raut muka yang bingung dan seperti bertanya-tanya ini apa? Anggita kemudian membuka dan membacanya. Lalu ia menggeser kertas itu tepat di hadapan Vela. Aku bisa melihat Vela juga membacanya sekilas. Kemudian kembali pokus menyalin rumus-rumus fisika yang sudah bu citra tulis di depan sana.

Aku sedikit menghela napas setelah mendapati bahwa tidak ada respon dan ekspresi gembira dari wajah Vela. Rupanya Vela belum dapat memaafkanku sepenuhnya. ini adalah sebuah kenyataan pahit yang harus ku terima. Anggita kembali menolehkan kepala ke belakang bangku ku dengan cepat. Dari gerakan kedua bibirnya aku bisa melihat bahwa dia membentuk dan menyunggikan senyum yang begitu lebar padaku. seolah-olah dia akan berjanji melihatku tampil besok.

Aku hanya bisa berharap. Besok semuanya akan berjalan dengan baik.

True LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang