Tentang perasaan yang mulai sulit dipahami
***Kana seharusnya masih bergelut dengan selimutnya di minggu pagi yang cerah. Namun, kedatangan Arsel ke rumahnya yang tak disangka-sangka membuatnya harus merelakan aktivitas menyenangkan tersebut. Cowok itu kerajinan sekali pukul delapan pagi sudah nangkring di kursi ruang tamunya sambil menyandarkan punggung.
Seharusnya Kana senang karena Arsel terlihat semangat menyelesaikan tugas mereka, tapi alasan dibalik itu semua membuatnya seketika ingin mengusir cowok pecicilan itu.
"Jelaslah gue rajin, entar siang, kan mau jalan sama bebeb, jadi gue harus nyelesain tugasnya cepet."
Tahu begini, Kana membiarkan saja Arsel menunggunya lama. Ia juga seharusnya mengabaikan sang mama yang memarahinya karena sudah siang begini masih belum beranjak dari kasur tercinta.
"Nih lo lanjut kerjain yang ini," tunjuk Kana pada layar laptop di depannya. Arsel mengangguk, menyerahkan flashdisk pada cewek itu untuk memindahkan file tugas. Ia kemudian membuka laptop miliknya.
"Terus lo ngerjain apa?" Arsel menatapnya menghakimi. Hal tersebut membuat Kana sebal. "Gue ngerjain latar belakangnya dulu. Lo kenapa sih takut banget gue numpang enak doang."
Kana menyerahkan flashdisk dengan tak santai hingga Arsel bersungut. Walaupun begitu, ia tetap membuka file yang sudah dikerjakan Kana tadi malam.
"Ini ngerjainnya gimana?"
Pertanyaan Arsel yang sarat akan kebingunan membuat Kana berdecak. Ia mengambil kertas kecil berisi beberapa poin penting, lalu menyerahkan pada
Arsel. "Liat nih, elo tinggal googling aja materi yang udah gue catet."Arsel mengangguk paham, meski Kana tidak yakin cowok itu akan anteng mengerjakan sampai selesai tanpa bertanya lagi.
"Lah, ini kenapa sih?" Kana memencet beberapa tombol di depannya saat tiba-tiba laptopnya mati. "Aduh gimana dong belum ke save, mana udah ngetik banyak lagi."
Melihat Kana yang gelisah bukan main membuat Arsel menghentikan kegiatannya. "Apa sih bikin kaget aja?"
"Ini Cel, laptopnya mati gak bisa dinyalain mana udah hampir selesai. Datanya juga cuma ada di laptop," ujar Kana dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Ia mengerjakan tugasnya sejak kemarin sepulang bimbingan, bahkan sampai begadang. "Pokoknya kalau laptopnya bener-bener rusak, gue gak mau ngulang ngerjain. Udah capek!"
Arsel sempat termangu melihat Kana yang berbicara dengan nada tinggi, penuh amarah. Ia tahu, cewek itu tidak marah padanya. Kana pasti merasa lelah apalagi terus belajar untuk olimpiadenya. Mengingat itu, Arsel jadi merasa tidak berguna sama sekali. Dengan ragu ia menyentuh bahu Kana. "Sabar Na, tenang. Jang-"
"Gimana mau tenang?" bentakan Kana membuatnya berjengkit. Arsel mengusap dadanya. "Lo ngerti gak sih, Cel?"
Arsel mengangguk. "Iya gue ngerti mak-"
"Udahlah mending lo lanjutin aja tugas lo," suruh cewek itu menekan tombol laptop dengan keras meski hasilnya nihil. Bibirnya sudah mengerucut dengan wajah merah padam. Satu kata saja Arsel salah ucap, pasti akan terkena semburan amarah.
Arsel menggaruk kepalanya, terdiam cukup lama sebelum kemudian matanya menangkap tas laptop dengan charger yang menyembul keluar. Ia mengernyit, kembali menatap Kana yang masih tak berhenti menggerakkan tangannya penuh emosi.
Arsel mengambil charger tersebut. Mengarahkan pandangan untuk mencari stop kontak dan menyambungkannya.
Setelah merapalkan doa dalam bentuk gumaman, Arsel menggeser posisi duduknya untuk lebih dekat dengan cewek itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
A or A ✔️
Teen FictionKana diam-diam menyukai teman sekelasnya. Arsel, si tukang sepik yang gombalannya sudah menjalar di seantero sudut SMA Nusantara. Kana pikir, perasaannya akan sulit hilang. Hingga suatu hari, ungkapan terang-terangan dari sang ketua OSIS membuatnya...