Sulit ya untuk sekedar mengungkapkan saja?
***Cowok bertubuh tinggi tegap itu memperhatikan teman sekelasnya dalam diam. Sesekali ia menaikkan sebelah alisnya lalu menghela nafas pelan. Merasa kurang puas dengan berbagai spekulasi dalam otaknya, ia akhirnya memutuskan mendekati sosok yang membuatnya berpikir keras.
"Na!"
Kana yang sedang merapikan karya para siswa mendongak. "Kenapa, Je?"
Jenar melirik sekitar, keadaan kelas begitu ramai karena guru kimianya sedang ke kantor dan belum juga kembali. "Alan, lo sama dia gimana sekarang?"
"Ha-ah?" Kana tampak terkejut dengan pertanyaannya.
"Iya, Alan udah nembak lo? Soalnya dulu ia sempet bilang sama gue, tapi udah lama gak ada kabar lagi," ucap Jenar berusaha memancingnya.
Raut wajah Kana berubah terkejut. Cewek itu mengarahkan tatapan pada kertas-kertas di tangannya dan memasukkan ke laci meja. "Kita temenan aja," jawabnya lalu berdiri. "Em ... Je, gue ke toilet dulu ya."
Melihat Kana yang tampak menghindari topik membuat Jenar berdecak. Saat hendak kembali ke tempat duduknya, lewat jendela ia mendapati kedua orang yang mengganggu pikiran tengah berdiri saling berhadapan.
Arsel membuang pandangan dan berjalan melewatinya, berbeda dengan Kana yang mendesah pelan lanjut melangkah dengan tak semangat.
"Cel!" panggil Jenar ketika sahabatnya memasuki kelas. Arsel menoleh, raut wajahnya berubah ceria. Dengan riang ia menghampirinya, duduk di kursi Regan.
"Regan sama Ijal mana?" tanyanya. Kebetulan beberapa detik setelah guru ke luar kelas, mereka bertiga langsung izin ke toilet. Jenar sempat menyuruh bergiliran, tapi memang dasarnya bebal.
"Kantin."
Tuh, 'kan? Jenar sudah menduganya. "Terus lo kok tumben udah balik?"
Arsel menidurkan kepalanya dan bergumam, "Takut ketahuan Pak Bram."
Jenar ingin bertepuk tangan. Ucapan Arsel seperti sebuah keajaiban. Biasanya cowok itu tidak peduli.
"Anak baik!" Jenar menepuk kepalanya diiringi tatapan bangga. Arsel sendiri malah menghempaskan tangan cowok itu. "Apasih Bang? Geli!"
Jenar terkekeh. Arsel tidak sadar bahwa sikapnya yang biasa lebih menggelikan.
"Kenapa? Lagi galau?" pancingnya. Cowok kurus itu mengembuskan nafas berat. "Enggak."
"Yakin?"
"Heem, tapi gue pingin kerja. Gak mau nyusahin mama," ucap Arsel membuatnya membeliak. Jenar merasakan perubahan drastis sahabatnya. Arsel yang manja dan pemalas mulai menampakkan sikap dewasanya. Senang sekaligus perih ia rasakan bersamaan. Jenar ikut sakit melihat keadaan Arsel sekarang.
"Menurut lo, kalau gue kerja-"
"Cel," potong Jenar. "Belajar yang rajin, buat mama lo bangga. Seenggaknya untuk saat ini."
"Hh, oke."
***Kana melirik cowok di seberangnya yang terlihat kesusahan mengerjakan tugas. Jenar yang biasa paling rajin di antara ke empatnya sedang dipanggil Pak Bram.
Ia melirik buku tugasnya yang sudah selesai, bahkan menjadi orang pertama yang mengumpulkan dan mendapat nilai sempurna.
"Cel!" panggilnya ragu. Kana pikir cowok itu akan mengabaikannya. Ternyata dugaannya salah. Arsel menoleh dengan memasang raut datar.
"Mau ... liat punya gue?"
Arsel tampak menimang beberapa saat lalu menggeleng. "Gue mau ngerjain sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
A or A ✔️
Teen FictionKana diam-diam menyukai teman sekelasnya. Arsel, si tukang sepik yang gombalannya sudah menjalar di seantero sudut SMA Nusantara. Kana pikir, perasaannya akan sulit hilang. Hingga suatu hari, ungkapan terang-terangan dari sang ketua OSIS membuatnya...