Ketika perasaan mulai membuatmu bingung
***"Lo kenapa sih, Na? Kayak hindarin gue gitu?"
Kana terkesiap dengan pertanyaan yang diajukan Arsel. Beberapa hari ini, dirinya memang berusaha menjaga jarak, bahkan tanpa menatap wajah sama sekali.
Ia sudah resmi pacaran dengan Alan. Makanya Kana harus menghilangkan perasaan itu sepenuhnya karena berdekatan dengan Arsel tidak baik bagi hatinya.
"Ngehindarin gimana sih, Cel?" tanya Kana diiringi kekehan. "Buktinya lo dateng gue masih duduk di sini."
Arsel mendengkus. "Ya ... gue ngerasa lo kayak males banget natap gue."
Senyum Kana perlahan luntur. Ia tidak menyangka Arsel akan sangat peka. Dengan terpaksa dirinya menatap cowok itu. "Liat? Gue gak seperti yang lo pikirin."
Arsel terdiam sejenak sebelum menggelengkan kepala. Akhir-akhir ini perasaannya tidak enak dan sikap Kana membuat kegusarannya bertambah.
"Cel, mau pulang gak?"
Suara Jenar membuat keduanya menoleh. Cowok itu sudah masuk sekolah setelah peristiwa pengeroyokan beberapa minggu lalu, bahkan sudah kembali latihan karena perlombaan akan dilaksanakan lusa.
Arsel segera memasukkan alat tulisnya ke tas, membiarkan Kana melenggang keluar kelas. Regan dan Rijal sudah pulang terlebih dahulu.
"Lo mau latihan, kan, Bang?"
Jenar mengangguk, dahinya mengernyit mendapati raut muram sahabatnya. "Kenapa? Ada masalah?"
"Enggak," jawabnya sambil memperbaiki letak tas. "Tapi, perasaan gue gak enak beberapa hari ini. Gue ngerasa ada hal buruk yang bakal terjadi dan itu buat gue was-was."
Jenar menepuk bahu sahabatnya. Arsel sudah seperti seorang adik baginya. Mungkin karena sikap kekanakannya serta usia cowok itu yang hampir sama seperti Gea, adiknya. "Gak usah terlalu dipikirin, banyak berdoa aja semoga gak terjadi apa-apa."
"Semoga deh. Gue balik duluan ya, Bang," pamitnya yang mendapat anggukkan. Arsel melangkah sambil memutar kunci motornya. Sahabatnya benar, ia tidak boleh memikirkan hal seperti itu.
Langkahnya memelan mendapati Kana sedang berbicara dengan Alan. Mereka tampak begitu akrab, bahkan cewek itu tertawa sambil sesekali memukul lengan sang ketua OSIS.
Mereka ... pacaran? batinnya bertanya. Lalu, Arsel menggelengkan kepala, tidak mau ikut campur.
Tak berapa lama, ia kembali menoleh. Dahinya mengernyit dalam sebelum kemudian Arsel kembali berjalan ke arah parkiran.
***"Gak papa gak dianterin pulangnya?" tanya Alan karena dirinya harus mengikuti latihan terakhir sebelum perlombaan berlangsung.
"Iya gak papa." Kana melemparkan senyumnya, tidak ingin membuat cowok itu merasa bersalah. "Kalau gitu aku pulang ya? Takut keburu ujan."
Alan mengangguk, mengusap sekilas kepalanya. "Hati-hati, kalau udah nyampe kabarin."
"Siap captain!" ujarnya mengangkat tangan. Alan terkekeh, perasaan bahagia melingkupi dadanya. Hubungan sembunyi-sembunyi mereka membuatnya harus mencuri-curi waktu untuk bertemu Kana.
"Kok masih di sini?"
Alan mengernyit. "Bukannya aku yang harus bilang itu?"
Kana meringis. "Ya udah deh aku pergi. Kamu juga, entar telat loh."
"Iya iya," jawab Alan tak bisa untuk tak tersenyum. Ia mendorong bahu Kana. "Udah sana pulang!"
"Ok, bye bye!" Kana melambaikan tangannya, melangkah riang melewati koridor. Ia tidak bisa menyembunyikan raut bahagianya, padahal awalnya Kana sempat ragu menerima Alan sebagai pacarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A or A ✔️
Teen FictionKana diam-diam menyukai teman sekelasnya. Arsel, si tukang sepik yang gombalannya sudah menjalar di seantero sudut SMA Nusantara. Kana pikir, perasaannya akan sulit hilang. Hingga suatu hari, ungkapan terang-terangan dari sang ketua OSIS membuatnya...