Bukankah lebih baik dicintai daripada mencintai tanpa balasan?
***Cewek itu menatap kagum pemandangan di depannya. Pertunjukan musik dari band indie serta air mancur berwarna warni semakin menambah keindahan taman kota.
"Suka?"
Kana mengangguk, senyuman senantiasa menghiasi wajahnya semenjak Alan membawanya ke sana. Sebelumnya ia memang tidak pernah sengaja keluar rumah, apalagi di malam minggu seperti sekarang. Ia akan memilih menonton drama korea hingga dini hari.
"Na."
Suara rendah Alan masih dapat didengarnya meskipun sebuah lagu tengah mengalun lembut. Kana yang sejak tadi fokus pada pemandangan di depannya menoleh, Alan mengusap telinganya dengan raut gusar.
"Iya?"
Cowok itu terdiam sejenak lalu meraih tangannya yang dingin. Meskipun tidak pernah pacaran, Kana jelas tahu kelanjutan dari apa yang akan terjadi. Ia sering melihatnya di FTV kesukaan sang mama. Sekarang Kana mengalaminya sendiri dan jantungnya tiba-tiba saja berpacu cepat. Untung lampu taman tidak terlalu terang sehingga Kana tidak perlu menyembunyikan wajahnya yang memerah.
"Lo tau, kan kalau selama ini gue suka sama lo?" Alan menatapnya intens. Kana yang salah tingkah dibuatnya, memaksakan diri mengangguk.
"Na, gue sebenernya bingung mau mulai dari mana. Jujur aja gue gugup banget sekarang," kekeh cowok itu. "Tapi gue harus tetep nyoba, kan walau kemungkinan besar cinta gue bertepuk sebelah tangan."
Kalimat terakhir cowok itu membuatnya meringis. Kana bingung. Ia harus menjawab apa? Alan memang baik, mungkin juga Kana sudah baper, tapi rasanya masih ada yang mengganjal.
Alan meraih jemarinya, menggenggam erat. "Jadi Na, lo mau gak jadi seseorang yang selalu ada buat gue? Warnai hari-hari gue yang monoton ini?"
Kana menahan nafasnya. Pikirannya tiba-tiba saja kosong.
"Kalandra, gue-" Kana menyentuh punggung tangan cowok itu yang masih tak melepaskan genggamannya. "Gue ... gue butuh waktu buat mikirin semuanya."
Cowok itu mengernyitkan dahi. Genggaman di tangannya melemah. "Jadi artinya lo nolak gue? Atau lo suka sama cowok lain?"
Kana menggeleng dengan tergagu, "Enggak, em gak gitu. Maksudnya gue butuh waktu lebih banyak. Lo mau nunggu, 'kan? Gue tau seharusnya gue gak ragu lagi, tapi ... gue juga gak mau sembarangan ngambil keputusan dan akhirnya nyakitin lo."
Cowok di depannya terdiam sejenak, raut wajahnya berubah murung. "Oke, tapi jangan terlalu lama."
"Iya, gak akan." Kana tersenyum lega. Beberapa bulan mereka dekat membuatnya perlahan menerima kehadiran cowok itu. Namun, Kana tidak tahu pasti penyebab dirinya masih saja ragu.
***"Aneh deh gue, perasaan kita satu kelompok terus," keluh Kana menatap sebal pada cowok yang malah sibuk menghapal lirik lagu korea.
"Lo dengerin gue ngomong gak sih, Cel?"
Arsel berhenti bersenandung lalu menyampingkan badan hingga berhadapan dengan Kana. "Na, kalau mau protes langsung aja ke Bu Nur. Gue mana tau kita bakal sekelompok lagi."
Mendengkus, Kana melirik pada ketua kelasnya yang sibuk menulis sesuatu di buku. Ia beranjak untuk duduk di sebelah cowok itu. Kebetulan Regan sedang pergi ke toilet bersama Rijal.
"Je, gue sekelompok sama Acel lagi masa?"
Kana dapat mendengar dengkusan Arsel. Tak lama kursi yang ia duduki mendapat tendangan dari arah belakang hingga Kana terlonjak kaget.
KAMU SEDANG MEMBACA
A or A ✔️
Teen FictionKana diam-diam menyukai teman sekelasnya. Arsel, si tukang sepik yang gombalannya sudah menjalar di seantero sudut SMA Nusantara. Kana pikir, perasaannya akan sulit hilang. Hingga suatu hari, ungkapan terang-terangan dari sang ketua OSIS membuatnya...