Jadi, di mana tempat hati berlabuh?
***Cewek berkucir kuda dengan seragam yang begitu rapi itu tampak gusar. Sejak keluar dari ruangan berisi para murid genius, ia tak henti menarik nafas dan mengeluarkannya. Seharusnya Kana merasa lega karena berhasil menyelesaikan soal dengan lancar meski kepalanya terasa terbakar. Beruntung, ia bukan tokoh dalam film kartun sehingga orang tidak akan melihat telinga dan hidungnya yang mengeluarkan asap.
Merasakan tangannya digenggam seseorang, Kana menoleh. Arvin yang duduk di sebelahnya tersenyum hangat.
Beberapa hari ini, ia mendapatkan perlakuan manis dari dua cowok sekaligus. Kana jadi takut baper pada mereka.
Tsk. Lo apaan sih, Na. Emang kak Arvin suka sama lo?
"Kenapa geleng-geleng kepala? Pusing?"
Kana meringis, baru menyadari kalau Arvin memperhatikannya sejak tadi. "Eng-gak kok, Kak."
Cowok itu mengangguk. Melirik jam di pergelangan tangannya. "Pengumumannya masih lama. Makan dulu yuk!"
"Mm ya udah deh, aku juga udah laper Kak." Bagi Kana, bukan waktunya untuk pura-pura kenyang. Soal olimpiade tadi benar-benar menguras pikiran dan tenaganya.
Arvin berdiri lalu mengulurkan tangan padanya yang tertegun. "Ayok! Kok malah diem?"
"A-ah iya, Kak." Kana menerima uluran tangan tersebut. Membiarkan Arvin menariknya menuju kantin SMA Gemilang, tempat olimpiade diadakan. Ia melirik cowok itu lalu beralih pada tangan mereka yang saling bertaut. Tiba-tiba saja wajahnya terasa memanas.
"Naya?"
Kana tergagap. Ternyata mereka sudah sampai tempat tujuan. "A-ah, iya kenapa, Kak?"
"Jangan sombong ya abis ini. Jangan mentang-mentang udah selesai olimpiadenya."
Kana segera menggeleng. Ia bukan tipikal orang yang tidak tahu terima kasih.
"Gak bakal, Kak. Jitak kepala aku kalau beneran kayak gitu," canda Kana tersenyum lebar. Arvin mengacak rambutnya diiringi senyuman geli. "Jangan senyum terus, entar giginya kering."
"Senyumnya gak usah lebar, entar gigi lo kering, Cel."
Perkataan kakak kelasnya membuat Kana teringat seseorang. Arsel, si tukang senyum ala iklan pepsodent.
***"Ciee juara! Uhuy traktiran!"
Kana melengos mendengar teriakan Regan. Please deh, ia hanya mendapat juara dua, tapi teman-temannya terlihat seperti ia juara pertama saja.
"Wuah, Kak Nana pinter banget sih!" seru cowok satu lagi. Kana berusaha bersabar menghadapi tingkah teman-temannya. Sambil bersedekap dada, ia menatap cowok yang kini duduk di atas mejanya. "Cel, gue tau pujian elo gak ikhlas dan ... sorry, gue lagi gak niat buat neraktir orang."
Senyum Arsel luntur. Berdecak, cowok itu turun dari meja menuju tempat duduknya. "Gak seru ah, Kanaya."
"Iya ya Cel, tarik lagi deh pujiannya, tarik." Regan sengaja mengeraskan suaranya hingga Kana memutar bola matanya. Ia menoleh pada Mora yang fokus membaca novel. Di sebelahnya, ada Rijal yang sudah membawa kursi agar bisa duduk berdekatan dengan teman dari zaman oroknya. Cowok yang kerjaannya tidur itu tampak anteng memainkan ujung rambut Mora.
Kana membuka ponselnya setelah mendengar benda tersebut bergetar.
Alan: Congrats ya, Na. Gue tau lo emang gak akan pernah ngecewain.
KAMU SEDANG MEMBACA
A or A ✔️
Teen FictionKana diam-diam menyukai teman sekelasnya. Arsel, si tukang sepik yang gombalannya sudah menjalar di seantero sudut SMA Nusantara. Kana pikir, perasaannya akan sulit hilang. Hingga suatu hari, ungkapan terang-terangan dari sang ketua OSIS membuatnya...