Jangan seperti ini, tolong.
***Cowok itu menyandarkan punggungnya, menatap langit biru di atas sana. Hiruk pikuk suara para siswa terdengar samar. Sejak pagi, ia hanya menyimpan tas ke kelas dan tidak kembali sampai bel istirahat berbunyi.
Ponselnya yang terus bergetar Arsel abaikan. Para sahabatnya tak henti menanyakan keberadaanya. Bukan mereka saja, tapi juga sosok yang sudah mematahkan hatinya. Arsel tidak sadar sejak kapan ia mulai menyukai seorang Kanaya. Yang ia tahu, dirinya selalu merasa nyaman saat bersama cewek itu.
Bodoh! Arsel merutuk. Seharusnya ia sadar sejak lama, siapa yang selalu ia cari untuk dimintai bantuan selain pada sahabatnya. Kana satu-satunya cewek yang ia biarkan memanggil nama kecilnya. Hanya Kana sosok yang ia berikan sesuatu di hari ulang tahunnya.
Sayangnya Arsel terlambat karena pemikirannya sendiri. Selama ia terlalu sadar mengenai posisinya. Kana baginya bukan cewek sembarangan. Dia memang tidak sememukau cewek-cewek di sekitarnya. Kana bisa dibilang biasa, hanya sedikit ... manis. Namun, Kana yang pandai, rajin, aktif serta humble membuatnya banyak dikenali. Cewek itu juga memiliki iner beauty yang orang lain tak punya.
Dalam otak Arsel, tipe pacar Kana pasti tidak jauh seperti cewek itu. Makanya, dari dulu Arsel mensugestikan diri untuk tidak menjatuhkan hati padanya.
Seperti halnya yang sering Jenar ceritakan. Tentang beberapa cowok hebat yang tertarik pada Kana. Bagaimana beruntungnya cewek itu dikelilingi orang-orang yang memiliki masa depan cerah. Arvin misalnya, sang juara olimpiade dua tahun berturut-turut dan sudah mendapat jaminan beasiswa setelah lulus nanti. Kemudian, hh Kalandra. Cowok nomor satu di sekolah yang tak memiliki cela di mata orang-orang.
Lalu dirinya? Arsel terkekeh, memandangi kepulan asap yang berasal dari benda di tangannya.
Dirinya tidak lebih dari cowok tak berguna. Kesimpulan yang ia ambil dari perkataan Alan kemarin. Arsel tidak punya apapun untuk dibanggakan, sifat humoris dan gombalan receh saja tidak akan cukup membuat cewek itu luluh. Seorang Kanaya tidak akan pernah memilih cowok dengan masa depan suram sepertinya.
Ia meringis merasakan sesak di dadanya, mengingat fakta bahwa Kana hanya simpati padanya.
Arsel menjatuhkan benda dari apitan jemarinya dan menginjaknya hingga hancur. Ia kemudian berjalan meninggalkan rooftop beriringan dengan bel pertanda istirahat berakhir.
Memasuki kelas, ia mendapati Regan yang langsung bangkit melihat kedatangannya. "Dari mana?"
Arsel terdiam sejenak, kernyitan di dahinya tampak. "Abis ketemu Dika."
Mata Regan memicing. "Sejak pagi bareng Dika? Dia gak masuk kelas emang?"
"Istirahat tadi," jawabnya tak yakin.
Regan menggelengkan kepala. "Tadi gue abis nemuin Sasa dan dia lagi sama Dika di perpustakaan, ngerjain tugas dari Bu Nur."
Arsel tak membalas hingga Regan yang menyadari sesuatu mendekat, menghidu sesuatu dari tubuhnya. Arsel refleks mundur.
"Cel, lo ... abis ngerokok?" tanya cowok itu dengan raut tak percaya.
Tempak terkejut, Arsel segera memalingkan muka. "Enggak."
"Cel!" bentak Regan hingga Kana yang sedang menidurkan kepala segera menegakkan badan. Tatapan keduanya bertemu, tapi Arsel lebih dahulu memutuskan kontak.
"Siapa yang ngajarin lo?" Regan menuntut jawaban, sedangkan cowok di depannya hanya diam. "Gimana kalau Jenar sama Ijal tahu? Mereka gak bakal ngampunin elo."
KAMU SEDANG MEMBACA
A or A ✔️
Teen FictionKana diam-diam menyukai teman sekelasnya. Arsel, si tukang sepik yang gombalannya sudah menjalar di seantero sudut SMA Nusantara. Kana pikir, perasaannya akan sulit hilang. Hingga suatu hari, ungkapan terang-terangan dari sang ketua OSIS membuatnya...