Tolong, jangan membuatku takut
***Suasana koridor terasa sepi. Semua siswa sudah duduk di kelasnya masing-masing untuk mengikuti jam pertama. Kana yang baru selesai membeli pulpen dari koperasi berjalan santai. Langkahnya memelan mendapati Arsel yang berjalan berlawanan arah dengannya.
Cowok itu sempat menatapnya sekilas sebelum membuang muka. Hal tersebut membuat dadanya terasa tercubit. Melihat Arsel yang hendak melewatinya, Kana segera menahan lengannya.
"Mau ke mana?" tanyanya yang dibalas tatapan dingin. Kana berusaha menguatkan hatinya karena pengabaian tersebut. "Pak Bram pasti marah kalau lo-"
"Gue gak peduli."
Cowok itu hendak kembali melangkah, Kana dengan sigap menghalangi dengan merentangkan tangan. "Jangan pergi! Ayo ke kelas bareng!"
Untuk sejenak, bola mata keduanya beradu. Arsel dapat melihat tatapan penuh permohonan di sana.
"Cel, ayo!" Kana berusaha menariknya. Namun, Arsel melepas paksa tangan cewek itu. "Pergi sendiri sana. Gue gak mood buat belajar. Gak bakal jadi apa-apa juga, 'kan?"
Kana tercengang melihat perubahan drastis cowok itu. Setidak mampunya Arsel, ia akan tetap berusaha mengerjakan meski dengan meminta contekan. Katanya untuk membantu nilainya yang pas-pasan.
"Cel," lirih Kana. "Lo kenapa sih?"
Arsel tak menjawab.
"Gue minta maaf, tapi tolong jangan kayak gini." Mata Kana berkaca-kaca. Sikap Arsel membuatnya terluka. Cowok itu tidak tahu bahwa dirinya tersiksa dengan keadaan seperti ini. Hatinya berontak, tapi Kana berusaha abai dan tetap setia pada Alan.
Tidak dapat ia sangkal lagi kalau nama Arsel masih ada dihatinya. Namun, semua sudah terlanjur. Kana harus mempertanggungjawabkan keputusan yang telah diambilnya.
Arsel membeku, memperhatikan Kana yang menghapus cairan bening di wajahnya.
"Gue gak tau kenapa lo segitu marahnya saat tau gue pacaran sama Alan. Kalau lo cuma ngerasa dibohongi, kenapa lo sampai bersikap kayak gini?" ujar Kana. Ia tidak mengerti dengan sikap Arsel meski sempat terbesit dalam pikirannya bahwa cowok itu memiliki perasaan padanya. "Bilang, gue harus gimana biar lo kembali jadi Arsel yang dulu."
"Putusin Alan."
Kana tergagu. "Ke-kenapa lo nyuruh kayak gitu?"
"Karena gue suka sama lo."
Mata Kana membeliak seketika, berbeda dengan Arsel yang malah terkekeh. "Gue bercanda. Terserah lo mau jadian sama siapapun. Bukan urusan gue juga, 'kan?"
"Acel," lirihnya pilu, padahal Kana sudah berharap lebih.
Tanpa mengatakan apapun lagi, cowok itu melewatinya begitu saja. Kana menghembuskan nafas dalam dan memutuskan kembali ke kelas. Mendorong pintu di depannya, ia berjalan dengan wajah tertunduk, tidak ingin ada yang melihat raut sembabnya.
"Lo kenapa, Na?" bisik Mora khawatir. Cewek itu menggeleng dan memaksakan senyumnya. Namun, ketika hendak melarikan pandangan, ia malah mendapati Regan yang memicingkan mata ke arahnya.
Kana tidak paham arti tatapan tersebut, tapi ia merasa bahwa sepupunya itu mengetahui sesuatu. Kana langsung memasang wajah datar dan membuka bukunya. Lanjut merangkum materi yang ditugaskan.
***"Kalian tau Acel di mana?" tanya Jenar yang tampak kesal dengan ulah sahabatnya. Satu, dua kali, ia masih bisa mentolelir Arsel yang bolos. Namun, semakin ke sini bahkan cowok itu hanya menyimpan tas dan mengambilnya saat jam pelajaran berakhir seperti sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
A or A ✔️
Teen FictionKana diam-diam menyukai teman sekelasnya. Arsel, si tukang sepik yang gombalannya sudah menjalar di seantero sudut SMA Nusantara. Kana pikir, perasaannya akan sulit hilang. Hingga suatu hari, ungkapan terang-terangan dari sang ketua OSIS membuatnya...