Suasana terlihat canggung. Nandara sendiri tidak berani menyentuh minumannya barang sedikit pun. Padahal ia sudah merasa kehausan, tetapi rasa segannya jauh lebih besar. Di hadapannya telah duduk seorang wanita cantik yang sempat dimakinya. Wanita yang tidak lain adalah kakak kandung Xilon, Zea May Azadirachta.
Nandara benar-benar tidak punya muka sekarang. Apa yang harus ia katakan? Sementara Zea menunggu dirinya untuk memulai pembicaraan.
"Eum ... aku minta maaf," ucap Nandara akhirnya bisa mengeluarkan kalimat itu dari bibirnya. Ia sedikit menggigiti bibir bawahnya sebelum akhirnya ia memilih menatap wanita yang ada di depannya itu. Zea tiba-tiba tertawa. Hal itu membuat Nandara mengernyit bingung. Lantas Zea mengusap pelan surai panjang Nandara. Sudah lama Nandara ingin menjadi adik yang disayang oleh seorang kakak, apa daya dirinyalah yang menjadi seorang kakak? Namun kali ini ia bisa merasakan kehangatan itu dari tangan Zea.
"Jangan nervous gitu, aku beneran gak akan makan kamu, kok. Tadi itu, aku sempat kaget karena kehadiran kamu. Sedikit gak nyangka kalau calon Xilon yang katanya pendiam ternyata posesif juga, ya?" kekeh Zea membuat semburat merah di pipi Nandara.
"Entahlah, aku ... cuma takut," ucap Nandara dengan pelan tetapi masih bisa didengar oleh Zea.
"Aku tahu, kamu takut. Tapi, rasanya agak berlebihan."
Nandara menatap wanita itu dengan tatapan heran.
"Berlebihan?"
"Kamu belum ngerasain ketakutan yang sebenarnya. Jadi, untuk antisipasi, jangan jatuh cinta sama Xilon. Kalau memang udah, berhenti aja." Zea terlihat serius dalam mengucapkan kata-katanya. Nandara mengernyitkan keningnya.
"Ja .. ngan?" ulang Nandara tidak percaya.
Zea mengangguk pelan lalu menyendokkan potongan fruit cake ke dalam mulutnya. Nandara tidak percaya dengan ucapan Zea. Bagaimana bisa ia berhenti mencintai Xilon? Sedangkan ia baru saja menyadari bahwa dirinya sangat mencintai Xilon. Kalimat aneh itu juga pernah dikatakan oleh adiknya. Ada apa ini?
"Kamu ... bukan kakaknya, kan?" tuduh Nandara dengan mata memincing. Zea tertawa terbahak-bahak seolah ucapan Nandara terdengar seperti lawakan. Nandara bersedekap, ia menatap wanita itu dengan pandangan tidak sukanya.
Lantas Zea mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah kartu tanda kependudukan. Nandara bisa melihat nama Azadirachta terukir indah menjadi nama belakang Zea. Apa yang Nandara lakukan? Kenapa ia malah meragukan Zea sebagai kakak Xilon?
"Kenapa? Masih ragu? Atau kamu mau aku bawain KK sekalian?" tanya Zea masih mempertahankan tawanya.
Nandara menundukkan kepalanya dan mengucapkan kata maaf. Baru saja akan mengobrol lagi, tiba-tiba suara dering ponsel milik Zea mengintrupsi mereka. Awalnya Zea hanya mengabaikan, tetapi begitu mendapat sebuah pesan wanita itu buru-buru beranjak.
"Maaf, aku harus pulang. Ada sesuatu yang terjadi," pamit Zea dengan wajah gelisah. Nandara hanya bisa mengangguk pelan. Setelah kepergiaan Zea yang terburu-buru, Nandara bisa menarik kesimpulan bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi. Nandara tidak berkesempatan untuk bertanya apa yang telah terjadi dan ia memang tidak berhak menanyakannya.
Nandara menyenderkan tubuhnya ke kursi dan menghela napas panjang. Sesekali ia memperhatikan di sekelilingnya. Tidak banyak pengunjung di café itu. Ia bahkan tidak menemukan si kembar. Mungkin mereka sudah pulang. Rasanya malas memeriksa untuk handphone. Karena Nandara yakin, kedua gadis bersaudara itu akan beralih profesi menjadi wartawan. Entah bagaimana Nandara memulai ceritanya nanti. Ia tidak mempedulika hal itu sekarang.
Tidak lama dari itu sosok Xilon tiba-tiba duduk di hadapannya. Sedari tadi lelaki itu duduk di meja lain membiarkan Zea dan Nandara berbicara empat mata. Nandara kembali menegakkan tubuhnya.
Jantungnya berdetak tidak normal. Nandara gugup setelah kejadian tadi. Ia merasa sangat malu karena telah bersikap murahan. Namun, ia tidak menyesal sudah mengutarakan bahwa dirinya menginginkan Xilon. Ia mau menikah dengan Xilon. Namun, sepertinya tidak dengan Xilon. Mana wajah semringah penuh keyakinan Xilon saat menginginkan pernikahan mereka?
"Mbak Zea punya urusan mendadak. Suaminya sudah pulang dengan keadaan tidak sehat," ujar Xilon memulai pembicaraan. Nandara tidak punya stok kata-kata yang ia gunakan untuk membalas ucapan Xilon. Jadi, ia hanya manggut-manggut saja.
"Demam. Suaminya demam," sambung Xilon seolah sedang menjawab pertanyaan Nandara. Padahal, Nandara bahkan tidak mengucapkan apapun.
"Masih ada tiga minggu lagi. Seharusnya kita gak ketemu sekarang." Xilon masih menyuarakan pikirannya. Lantas Nandara menatap netra berwarna coklat terang itu. Hati Nandara menciut. Apakah Xilon belum menemukan jawabannya?
"Aku udah setuju sama pernikahan ini, jadi gak usah banyak pikir lagi," sahut Nandara akhirnya. Rasanya sedikit aneh saat mengganti lo-gue menjadi aku-kamu. Xilon membalas tatapan Nandara padanya.
"Kamu, bukan aku." Sedikit nada sinis terdengar. Nandara tidak suka pembicaraan yang melibatkan emosi tinggi seperti ingin.
"Kamu baru aja bilang sayang aku. Kenapa harus menunda lagi?" tanya Nandara yang merasa sedikit tersinggung.
"Ini pernikahan. Aku cuma mau nikah sekali dalam hidupku. Dan juga ... sama orang yang aku cintai," jelas Xilon.
"Jadi ... orang yang kamu cintai bukan aku?"
"Aku cuma bilang sayang kamu," ralat Xilon menegaskan.
Nandara tersenyum miris, kisah cintanya kenapa harus menyedihkan seperti ini? Jadi, sayang dan cinta itu adalah dua hal yang berbeda? Kenapa Nandara tidak menyadarinya? Jadi, sebenarnya ia yang bodoh dalam hal ini?
"Kayaknya aku terlalu berharap," ujar Nandara beriringan dengan senyum tipis yang menyiratkan kesedihan. Matanya sudah berkaca-kaca. Sungguh, baru kali ini ia merasa sangat sakit seperti ini. Nandara pun beranjak dari kursinya. Ia mau pulang sekarang.
Baru beberapa langkah, suara Xilon menghentikan pergerakannya. "Kita boleh nikah, tapi kamu gak boleh jatuh cinta sama aku. Sejak awal aku emang ragu. Kamu udah libatin perasaan terlalu jauh."
Nandara merasa kakinya melemas seketika. Oktan, Zea dan sekarang Xilon sendiri yang telah mengatakan hal yang sama. Ia tidak boleh jatuh cinta pada Xilon. Apa ini semacam kutukan? Ia tidak boleh jatuh cinta? Hanya berlaku pada Xilonkah atau orang lainnya?
Nandara membalikkan badannya menghadap Xilon. Nandara tidak bisa mengartikan raut wajah Xilon saat ini. Penuh misteri.
"Aku gak boleh jatuh cinta?" tanya Nandara dengan suara yang sedikit terdengar sumbang.
"Boleh. Pada siapa pun boleh, kecuali aku," sahut Xilon. Nandara mendecih. Lelucon macam apa ini? Siapa yang bisa melarang mengenai perasaannya? Ia punya hak untuk jatuh cinta pada siapapun yang ia mau. Bahkan orang yang dicintainya pun tidak berhak untuk melarang.
Nandara tertawa sumbang, penuh rasa sakit pastinya. "Siapapun itu, gak berhak untuk larang aku jatuh cinta!" tegas Nandara.
"Harusnya kita gak perlu ketemu lagi hari itu," desah Xilon lalu tiba-tiba menghampiri Nandara dan memeluknya erat.
"Coba cari, Ra. Cari apa yang telah kamu temukan dalam diriku," bisik Xilon.
Nandara terdiam. Tanpa ia cari pun, Nandara telah menemukannya, bahkan di pertemuan pertama mereka. 'Lagi' dalam kalimat Xilon menunjukkan bahwa mereka pernah bertemu sebelumnya. Sebelum hari itu. Di toko antik itu.
"Kalau kamu udah nemu, apa yang akan kamu lakuin?"
Nandara masih tidak bisa berkata-kata. Ia sudah lama menemukan 'sesuatu' dalam diri Xilon. Bukannya menarik diri untuk menjauh, Nandara malah maju untuk melukai dirinya sendiri.
Sesuatu itu ...
Aroma jasmine pekat.
Aroma yang menandakan bahwa kematian semakin dekat.
***
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jasmine Addict (Tamat)
General Fiction[DISARANKAN FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA⚠] ⚠Cerita ini bakal bikin kamu pusing, berhenti sebelum menggila⚠ (Romance-Fantasy) Namanya Jasmine, tapi dia benci bunga itu terutama aromanya. Aroma kematian. Awalnya ia mengabaikan seseorang yang beraroma...