31. Pilihan

2.7K 315 8
                                    

"Kak Nandara bangun!"

Itu suara Oktan.

Merasa namanya tersebut, Nandara mengerjapkan matanya perlahan. Kali ini ia melihat langit-langit ruangan asing. Namun, bau khas karbol membuat Nandara tahu di mana ia sekarang.

Langit-langit ruangan itu menghilang, digantikan dengan wajah asing berjas putih yang khas. Nandara merasa tubuhnya lemas, sehingga ia membiarkan sang dokter memeriksanya.

Beberapa waktu kemudian, dokter itu keluar. Setelah menanyakan apa yang dirasakan Nandara. Baik-baik saja, begitulah. Tidak, sebenarnya ia tidak baik-baik saja. Ia masih diliputi oleh rasa ketakutan. Namun, ini pilihannya. Ia kembali. Untuk mereka.

Tubuhnya sedikit sulit digerakkan, seolah dalam waktu yang lama, ia lumpuh. Belum terbiasa dengan gerakan tubuh.

Sosok papa dan mamanya muncul dari balik pintu. Satu hal yang membuat Nandara agak syok yaitu mamanya yang berada di kursi roda. Apa yang telah terjadi pada mamanya?

"Bagaimana perasaanmu, Nda?" tanya sang papa seraya mengelus kepala putrinya.

"Baik, Pa. Manda kenapa?"

Mamanya tersenyum. "Sesuatu telah terjadi. Tapi Manda baik-baik aja, kok," sahut sang mama dengan wajah meyakinkan. Mungkin ia tidak mau melihat putrinya khawatir.

Nandara tersenyum lega. Ia pun beringsut turun dari ranjangnya dan menyerbu sang mama dengan pelukan. Ia ingin menangis lagi rasanya. Senang, mamanya baik-baik saja. Bahkan ia merasa tubuhnya tidak lemas lagi.

Nandara yakin. Sesuatu telah terjadi. Dan ia yakin, Papa dan mamanya akan tetap bungkam. Yah, ia tidak tahu sejauh apa kedua orang tuanya akan menyembunyikan semuanya.

"Apa yang terjadi sama Nandara?" tanya Nandara masih penasaran dengan apa yang terjadi dengan dirinya sendiri.

"Dan ... Kak Xilon?" tanya Nandara lagi.

"Kalian berdua hampir terkena tembakan. Untung saja kamu cepet nyelamatin Xilon. Yah, walaupun kamu tiba-tiba pingsan semalaman," jelas mamanya.

Pingsan? Apakah masuk akal jika dirinya tidak bangun akan mati? Nyatanya Nandara hanya pingsan, bukan sekarat. Apa tadi itu mimpi? Tetapi jelas terasa sangat nyata. Tidak mungkin.

Dan waktu yang ia habiskan tidak sama dengan yang ia lalui di dunia paralel. Ia menghabiskan waktu seminggu di dunia paralel, padahal kenyataannya hanya menghabiskan waktu beberapa jam. Perbedaan waktu yang sangat jauh. 

"Kak Xilon sekarang di mana?"

"Dia ada di belakang kamu," sahut sang papa.

Sontak Nandara menoleh ke ranjang yang berada di belakangnya. Lelaki yang ia cari-cari itu ternyata berbaring di ranjang sebelahnya. Kenapa ia tidak menyadarinya sedari tadi?

Nandara menghampiri lelaki yang terbaring itu. Air mata yang ia tahan sedari tadi akhirnya jatuh juga. Tetesan itu mengenai wajah Xilon.

"Apaan nih? Kok basah? Lho, Ra?"

Nandara kaget begitu Xilon tiba-tiba terbangun. Lelaki itu juga kelihatannya kaget.

"K-kak Xilon, baik-baik aja?" tanya Nandara dengan terbata-bata.

Xilon mengelap air mata Nandara yang membasahi wajahnya. Ia mengernyitkan keningnya.

"Aku baik-baik aja. Kamu gimana? Baik-baik aja?" tanya Xilon terlihat khawatir karena Nandara tiba-tiba saja menangis.

Bukannya menyahut, Nandara malah menghambur ke dalam pelukan Xilon. Xilon kaget, tidak tahu harus bereaksi apa. Sementara ia melihat kedua orang tua Nandara yang memandang mereka. Xilon jadi kikuk pada kedua orang itu.

Jasmine Addict (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang