28. Ikatan

2.6K 281 6
                                    

15 tahun yang lalu.

Rintikan hujan tidak berhenti sejak siang tadi. Langit semakin gelap ditambah dengan intensitas hujan yang semakin deras. Seorang gadis kecil melempar pandangannya ke luar jendela. Mengamati dengan penuh minat pada rintikan yang tak kunjung reda.

Gadis itu menatap kosong pada halaman rumahnya yang dipenuhi berbagai macam bunga. Namun, titik fokusnya tepat pada tanaman melati yang sedang berbunga.

Perlahan, tangan mungil itu membuka jendela. Lalu ia mengeluarkan tangan kanannya untuk merasakan air hujan yang tampaknya mengulurkan jalin persahabatan.

"Nandara!"

Gadis kecil itu berjengit kaget tatkala namanya diserukan oleh seorang wanita muda yang saat ini tergopoh-gopoh berjalan menujunya. Wanita itu terlihat khawatir dan langsung mengelap tangan mungil Nandara yang sedikit daripadanya telah terbasahi oleh hujan.

"Manda udah bilang, jangan buka jendela. Nanti Nandara sakit," ucap wanita yang tak lain adalah Sagitta, sang mama.

Gadis kecil itu hanya diam. Membiarkan telapak tangannya mengering akibat baju mamanya yang disapukan ke tangannya. Hanya sedikit menoleh pada jendela, tatkala mamanya menutup kembali jendela dengan rapat.

Sebuah kecupan kecil mendarat di kening Nandara. Kecupan hangat yang berakhir dengan pelukan. Ia tidak rewel tatkala mamanya mengangkat tubuh kecil nan kurusnya itu. Ditenggelamkan kepalanya di ke dalam ceruk leher sang mama. Dia kedinginan ternyata.

Nandara bisa merasakan tubuhnya dibaringkan di atas sofa, lalu selimut tebal berwarna putih dengan gambar bunga-bungaan menyelimuti tubuhnya. Sang mama menjulurkan punggung tangannya pada kening Nandara. Dengan raut wajah khawatir, sebuah plester penurun demam ditempelkan ke kening Nandara.

"Ma-manda," lirih Nandara dengan suara serak.

"Bentar lagi Panda pulang. Nandara mau apa biar Manda kasih tahu Panda. Mau dibeliin apa, Nak?" tanya Sagitta dengan penuh perhatian. Wanita itu mengelus puncak kepala anaknya yang sengaja ia pangku.

Nandara menggelengkan kepalanya. Sagitta terlihat gelisah, ia meraih handphone-nya yang terletak di atas meja. Men-dial nomor suaminya dan menunggu hingga terhubung.

"Ya, Git?"

"Nandara panas lagi. Kamu cepet pulang 'kan?" tanya Sagitta berharap suaminya cepat pulang.

"Boleh aku ngomong sama Nandara?"

Tanpa banyak bicara, Sagitta langsung men-speaker percakapan mereka agar Nandara bisa mendengarnya.

"Mine, kenapa? Panas lagi, ya? Mau Panda beliin apa?" tanya Ren dengan suara yang tampak lirih. Nandara tidak menyahut, ia hanya merintih. Seolah seluruh tubuhnya ditusuk benda tajam. Terutama kepalanya. Sakit sekali.

Sagitta hampir menangis melihat kondisi anaknya. Bukan sekali dua kali anaknya seperti itu. Rumah sakit bahkan menjadi rumah kedua bagi gadis kecil itu. Obat? Menjadi makanan utama kedua. Tidak ada taman bermain sepanjang umur lima tahunnya. Bukan dilarang, tetapi Nandara memang tidak sekuat anak-anak lain untuk kejar-kejaran.

"Eughhh ... sa-sakit," lenguh Nandara mulai menggeliat tidak nyaman. Kata 'sakit' lebih sering diucapkan oleh gadis kecil itu ketimbang merengek meminta mainan atau makanan.

Sagitta tidak bisa menahan air matanya. "R-ren ...."

"Anak Panda mau makan apa, hem? Mau Panda beliin mainan, ya? Barbie mau? Atau boneka lumba-lumba? Jasmine Panda mau apa, Sayang?"

"Eughh ... hiks ...hiks ... sa-sakit Panda. Kepala Nda, kepala Nda hiks ... hiks ...," isak Nandara mulai menangis. Gadis kecil itu memukul kepalanya sendiri.

Jasmine Addict (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang